SEBAB-SEBAB BID’AH
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki
sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab
terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada
tiga hal. [1]
Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan
dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat
dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas
adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum
cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan
peribadatan murni.
Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah
karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga
tentang gaya bahasa Arab.
Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits
shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum
Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal
dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada
tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya,
bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan
dalam syari’at.
Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah
yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam
masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang
tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk
mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.
Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan
dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab
adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa
yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat
Muslim]
Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang
adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau
memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan
dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka
mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan
alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin,
sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika
kamu mendengar” mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga
mendengar adzannya sendiri!
Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya
bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang
adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak
mencakup juga kepada orang yang adzan.
Sesungguhnya ulama qurun awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui
karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah
sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan
dalil-dalil syar’i.
Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu
qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut,
kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal
terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya
sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.
Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia
mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah
apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan
dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits
yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan,
sedangkan hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika
kamu mendengar adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan
perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang
mendengar adzan.
Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil
sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera
nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan
hujjah.
Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan
penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan
merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.
Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.
“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?”
[Al-Qashash : 50]
Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai
peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi
terhapuskan.
Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling
besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap
kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at,
mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.
Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak
menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada
beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula
yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan
karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang
hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang
berbeda-beda menurut para peniliti.
Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran,
menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin
kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul
yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas
segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.
Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada
manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka,
dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan
kebaikan di akhirat.
Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas
telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.
“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang
yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim,
dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan
orang-orang yang bodoh” [2]
Ungkapan “ perubahan orang-orang yang ekstrim” mengisyaratkan kepada
sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan “ajaran orang-orang yang
melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang menganggap baik
mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum
syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan
kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari
sumber-sumbernya.
[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah
Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar
Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari,
Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar