Senin, 18 Agustus 2014

Manfaatkanlah 5 Perkara Sebelum Menyesal Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara. Jika di masa muda, sehat, kaya, waktu senggang sulit untuk beramal, maka jangan harap selain waktu tersebut bisa semangat. Ditambah lagi jika benar-benar telah datang kematian, bisa jadi yang ada hanyalah penyesalan dan tangisan. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya 4: 341. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih) Ghonim bin Qois berkata, كنا نتواعظُ في أوَّل الإسلام : ابنَ آدم ، اعمل في فراغك قبل شُغلك ، وفي شبابك لكبرك ، وفي صحتك لمرضك ، وفي دنياك لآخرتك . وفي حياتك لموتك “Di awal-awal Islam, kami juga saling menasehati: wahai manusia, beramallah di waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, beramallah di waktu mudamu untuk masa tuamu, beramallah di kala sehatmu sebelum datang sakitmu, beramallah di dunia untuk akhiratmu, dan beramallah ketika hidup sebelum datang matimu.” (Disebutkan dalam Hilyatul Auliya’. Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 387-388). Semua itu kata Ibnu Rajab Al Hambali merintangi kita dalam beramal dan sebagiannya melalaikan kita seperti pada sebagian orang. Lihat saja ketika seseorang fakir dibanding ketika ia kaya, lihat pula ketika ia sakit, sudah menginjak masa tua atau bahkan mati yang tidak mungkin lagi beramal. (Lihat Idem, 2: 388). Jika waktu muda sudah malas ibadah, jangan harap waktu tua bisa giat. Jika waktu sehat saja sudah malas shalat, jangan harap ketika susah saat sakit bisa semangat. Jika saat kaya sudah malas sedekah, jangan harap ketika miskin bisa keluarkan harta untuk jalan kebaikan. Jika ada waktu luang enggan mempelajari ilmu agama, jangan harap saat sibuk bisa duduk atau menyempatkan diri untuk meraih ilmu. Jika hidup sudah enggan bertakwa dan mengenakan jilbab, apa sekarang mau tunggu mati? Lihatlah mereka yang menyesal, وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11) “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun: 10-11). Hanya Allah yang memberi taufik untuk memanfaatkan lima perkara sebelum lima perkara. —

Minggu, 10 Agustus 2014

BENCI JUGA BUKTI CINTA

 Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka jelaslah sudah bahwa ikrar kita akan kalimat tauhid laa ilaaha illallaah, tidak akan pernah sempurna sampai kita mampu membuktikannya dengan menegakkan al-Wala’ dan al-Bara’. Kemudian, al-Wala’ dan al-Bara’ pun harus selamanya bergandengan dalam diri seorang mukmin sebagaimana al-Itsbaat dan an-Nafyu tidak terpisahkan dari rukun laa ilaaha illallaah. Maka “cinta” semata, tidak cukup jika tidak dibarengi oleh “benci” demi yang dicintai.

 Betapa indahnya ungkapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang menunjukkan kedalaman pemahaman beliau akan al-Wala’ dan al-Bara’ sebagai dua unsur yang tidak terpisahkan dari konsekuensi laa ilaaha illallaah:

 لَيْسَ لِلْقُلُوْبِ سُرُوْرٌ وَلاَ لَذَّةٌ تَامَّةٌ إلاَّ فِي مَحَبَّةِ اللهِ، وَالتَّقَرُّبِ إلَيْهِ بِمَا يُحِبُّهُ، وَلاَ تُمْكِنُ مَحَبَّتُهُ إلاَّ بِالإعْرَاضِ عَنْ كُلِّ مَحْبُوْبٍ سِـوَاهُ، وَهَذَا حَقِيْقَةُ (لا إله إلا الله) وَهِيَ مِلَّةُ إبْرَاهِيْمَ الْخَلِيْلِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَسَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ

 “Hati tidak akan mungkin merasakan kebahagiaan dan kelezatan yang sempurna, kecuali dengan mencintai Allah dan taqarrub pada-Nya melalui segala yang dicintai-Nya. Dan mencintai-Nya tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan berpaling dari segenap kecintaan pada selain-Nya. Inilah hakikat laa ilaaha illallaah, dan inilah (inti) agama Ibrahim ‘alaihissalam (kekasih Allah) beserta segenap Nabi dan Rasul.” [Majmu’ al-Fatawa: 28/32]

 KEUTAMAAN MENEGAKKAN AL-WALA’ & AL-BARA’ Rasulullah bersabda:
 أَوْثَقُ عُرَى الإيْمَانِ الْمُوَالاَةُ فِـي اللهِ وَالْمُعَادَةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

 “Tali iman yang paling kokoh adalah; loyalitas karena Allah (sekaligus juga) memusuhi karena Allah, dan cinta karena Allah (sekaligus) membenci karena Allah.” [Hadits Hasan, Shahihul Jami’ush Shagir: 2/343] Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu yang telah berkata:

 مَنْ أَحَبَّ فِي اللهِ وَأَبْغَـضَ فِي اللهِ، وَوَالَى فِي اللهِ، وَعَادَى فِي اللهِ فَإنَّمَا تُنَالُ وِلاَيَةُ اللهِ بِذَلِكَ، وَلَنْ يَجِدَ عَبْدٌ طَعْمَ الإيْمَانِ وَإنْ كَثُرَتْ صَلاَتُهُ وَصَوْمُهُ حَتَّى يَكُوْنَ كَذَلِكَ…

”Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, bersikap loyal karena Allah, memusuhi karena Allah, maka sungguh (derajat) Wali Allah hanya bisa diraih dengan sifat-sifat tersebut. Dan seorang hamba tidak akan pernah mendapati lezatnya iman, betapapun banyak shalat dan puasanya, sampai hal tersebut terwujud pada dirinya…” [Hilyatul Auliyaa’: 1/312, lih. Al-Walaa’ wal Baraa’ fil Islaam hal. 42]

 Syari’at Allah dan Rasul-Nya menghendaki adanya tembok pemisah antara keimanan dan kekufuran, antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Jika tembok pemisah ini runtuh, maka kebatilan akan menjadi samar karena diselubungi oleh pakaian al-haq, demikian sebaliknya. Lambat laun, manusia akan kembali pada era jahiliyyah, di mana kebatilan dianggap haq, dan yang haq dianggap batil. Jika ini terjadi, maka manusia akan kehilangan kemanusiaannya. Tatanan moral dan sosial akan hancur. Kerusakan di muka bumi pun tidak terelakkan lagi. Allah berfirman: إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ Artinya: “…Jika kalian tidak mewujudkannya (yakni al-Wala’ dan al-Bara’), niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [QS. al-Anfaal: 73] PERAYAAN TAHUN BARU DARI PERSPEKTIF AL-WALA’ & AL-BARA’ Jika ditilik dari sisi sejarah, perayaan tahun baru masehi sangat kental dengan nuansa kekufuran. Dalam The World Book Encyclopedia tahun 1984, vol. 14, hal. 237, tercata (yang artinya): “Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, dewa yang (dikhayalkan-red) punya dua wajah, satu mengahadap ke (masa) depan, dan satu lagi menghadap ke (masa) belakang.” Bulan Januari (bulannya Dewa Janus) juga ditetapkan setelah Desember, dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice (musim dingin) yaitu hari-hari di mana kaum Paganis (musyrik-red) menyembah matahari. Bagi orang-orang Persia (sekarang Iran-red) yang beragama Majusi (penyembah api), tanggal 1 Januari dijadikan hari raya mereka yang dikenal dengan sebutan Nairuz atau Nurus. Kaum Majusi meyakini bahwa pada tahun baru itulah Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi. Kisah perayaan mereka ini direkam oleh Imam Nawawi dalam kitab Nihaayatul ‘Arob.

 Dalam perayaan Nairuz tersebut, kaum Majusi menyalakan api dan mengagungkannya. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur antara pria dan wanita, saling mengguyur antara mereka dengan air dan khamr (miras). Mereka berteriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta dalam perayaan Nairuz ini disiram dengan air bercampur kotoran. [sumber: answering.wordpress.com, dengan sedikit perubahan] Sekarang, teka-teki dari mana asalnya tradisi kembang api di malam pergantian tahun, terjawab sudah. Tidak lain dan tidak bukan ia adalah virus Majusi (penyembah api) yang diam-diam telah merasuki sendi-sendi budaya kita kaum muslimin tanpa kita sadari.

 BAGAIMANA SIKAP MUKMIN SEJATI?

Bisa disimpulkan bahwa seorang muslim yang masih meyakini kalimat laa ilaaha illallaah, maka dia harus menjalankan segenap konsekuensi kalimat tersebut, di mana al-Bara’ termasuk di dalamnya. Seorang muslim tidak selayaknya ikut serta dalam perayaan tahun baru, apapun bentuk dan ragamnya, termasuk sekedar mengucapkan; “Selamat Tahun Baru”. Hal ini terlarang (baca: haram) berdasarkan ikrar kalimat tauhid yang senantiasa kita ucapkan sendiri, belum lagi dalil-dalil al-Qur-an dan Hadits serta keterangan para ulama salaf yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Aqidah al-Wala’ dan al-Bara’ mengharuskan seorang muslim mempertahankan jati dirinya, tidak mudah goyah dan latah pada budaya-budaya non-muslim yang bertentangan dengan kemurnian budaya Islam yang telah dirasakan kejayaannya oleh Salafush Shalih. Rasulullah bersabda

: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia telah menjadi bagian dari kaum tersebut.” [Hadits Shahih, Shahiihul Jaami’: 5/270]
 Penting untuk dicatat, bahwa aqidah al-Wala’ dan al-Bara’ tidak sah jika hanya diyakini dalam hati dan lisan semata, namun juga harus dibuktikan dengan sikap. Maka sangat jelas kekeliruan orang-orang yang mengatakan: “Tidak mengapa mengucapkan selamat atas hari raya orang-orang kafir, selama tidak diniatkan dalam hati.” Ini sama saja dengan klaim palsu orang-orang yang mengatakan: “Selamat atas perayaan kekafiran kalian pada Allah”, kemudian dalam hati dia berkata: “Saya tetap mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Sungguh ungkapan kontradiktif yang tidak bisa dicerna dan diterima fitrah yang lurus. Cukuplah kalimat emas berikut (yang konon diucapkan oleh Imam Syafi’I, lihat Fathullaah al-Hamiid hal. 348, asy-Syaamilah), menjadi jawaban bagi orang-orang semacam ini:

 تَعْصِي الإلَهَ وَأَنْتَ تَزْعُمُ حُبَّهُ ** هَذَا وَرَبِّيْ فِي الْقِيَاسِ شَنِيْعُ لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ ** إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعُ

 Engkau durhakai sesembahanmu, sementara engkau mendakwa cinta pada-Nya Sungguh ini–demi Tuhanku–adalah perbandingan yang buruk Andai dakwaan cintamu tulus, niscaya engkau ‘kan taat pada-Nya Karena sejatinya, seorang pecinta akan taat pada yang dicinta. ***

 Referensi Utama: al-Wala’ wal Bara’ fil Islaam, Syaikh Muhammad Sa’ad al-Qohthooniy, Cet.-1 Daar ath-Thoyyibah