Senin, 29 Juni 2015

Janganlah Ingkar Janji

Janganlah Ingkar Janji

Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji

Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى

“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)

Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:

إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ

“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)

Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)

Sabtu, 13 Juni 2015

KHASIAT DAUN BIDARA UNTUK GANGUAN JIN

KHASIAT DAUN BIDARA UNTUK GANGUAN JIN

Mengobati Gangguan Sihir dengan daun bidara
1. Dalil bahawa Daun Bidara beserta Rukyah mengubati Sihir:
Ibnu Katsir dalam huraiannya apabila menafsirkan Surah Al Baqarah Ayat 102 berkaitan Syaitan yang memfitnah Nabi Allah Sulaiman bahawa baginda menggunakan Sihir bukan Mukjizat meriwayatkan bahwa yang paling bermanfaat dalam menghilangkan pengaruh sihir adalah dengan menggunakan apa yang diturunkan Allah s.w.t. kepada RasulNya untuk menghilangkan hal itu yaitu membaca al-muawwidzatian (al-Falaq dan an-Nas) dan Ayat Kursi kerana ayat-ayat itu dapat mengusir syaitan.:

Al Qurtubi menceritakan daripada Wahab untuk mengubati Sihir: “ Diambil 7 helai daun bidara ditumbuk halus lalu dicampurkan air dan dibacakan Ayat Kursi dan diberi minum pada orang yang terkena sihir tiga kali teguk dan baki airnya diguna untuk mandi ,Insya Allah akan hilang sihirnya”. “Dan diutamakan membaca Qul A’uzubil Falak ,Qul A’uzubirabinnas juga ditambah Ayat Kursi kerana ayat-ayat itu dapat mengusir Syaitan.”
( Tafsir Ibn Katsir Jilid Satu Terjemahan Singkat Halaman 171)
( Tafsirul QuranilAzim Juz: 1 halaman 372 )
Berikut ini beberapa khasiat atau manfaat daun bidara:
1.Daun Bidara Dan Memandikan Jenazah

Ummu ‘Athiyyah Rodhiyallohu ‘Anha berkata, “Nabi Shollallohu Alaihi Wa sallam pernah menemui kami sedangkan kami kala itu tengah memandikan puterinya (Zainab), lalu Beliau bersabda: ‘Mandikanlah dia tiga, lima, (atau tujuh) kali, atau lebih dari itu. Jika kalian memandang perlu, maka pergunakan air dan daun bidara. (Ummu ‘Athiyyah berkata, ‘Dengan ganjil?’ Beliau bersabda, ‘Ya.’) dan buatlah di akhir mandinya itu tumbuhan kafur atau sedikit darinya.”
(H.R. al Bukhori 3/99-104, Muslim 3/47-48, Abu Dawud 2/60-61, an Nasa-i 1/266-267, at Tirmidzi 2/130-131, Ibnu Majah 1/445, Ibnul Jarud 258-259, Ahmad 5/84-85, 4076-4078, Syaikh al Albani – Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah hal 130-131).
2.Daun Bidara dan Wanita Haidh
‘Aisyah secara marfu’, “Salah seorang di antara kalian (wanita haidh) mengambil air yang dicampur dengan daun bidara lalu dia bersuci dan memperbaiki bersucinya. Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya seraya menggosoknya dengan gosokan yang kuat sampai air masuk ke akar-akar rambutnya, kemudian dia menyiram seluruh tubuhnya dengan air. Kemudian dia mengambil secarik kain yang telah dibaluri dengan minyak misk lalu dia berbersih darinya.” ‘Aisyah berkata, “Dia mengoleskannya ke bekas-bekas darah.” (H.R. Muslim no. 332 dari ‘Aisyah)
3.Daun Bidara Dan Ruqyah
Ulama Wahab bin Munabih menyarankan untuk menggunakan tujuh lembar bidara yang dihaluskan. Kemudian dilarutkan dalam air dan dibacakan ayat Kursi, surat al Kafirun, al Ikhlash, al Falaq dan an Naas. (Boleh juga dibacakan ayat-ayat al-Qur’an lainnya) Lalu dipergunakan untuk mandi atau diminum. (lihat Mushannaf Ma’mar bin Rasyid 11/13).
Menumbuk tujuh helai daun pohon Sidr (daaun bidara) hijau di antara dua batu atau sejenisnya, lalu menyiramkan air ke atasnya sebanyak jumlah air yang cukup untuk mandi dan dibacakan di dalamnya ayat-ayat al Qur-an.
Setelah membacakan ayat-ayat tersebut pada air yang sudah disiapkan tersebut, hendaklah dia meminumnya sebanyak tiga kali, dan kemudian mandi dengan menggunakan sisa air tersebut. Dengan demikian, insya Allah penyakit (sihir) akan hilang. Dan jika perlu, hal itu boleh diulang dua kali atau lebih, sehingga penyakit (sihir) itu benar-benar sirna. Hal itu sudah banyak dipraktekkan, dan dengan izin_Nya,Allah memberikan manfaat padanya. Pengobatan tersebut juga sangat baik bagi suami yang tidak bisa berhubungan badan karena terkena sihir.
4.Daun Bidara Untuk Makanan atau Minuman
Buah bidara dari kultivar unggul dapat dimakan dalam keadaan segar, atau diperas menjadi minuman penyegar, juga dikeringawetkan, atau dibuat manisan. Di Asia Tenggara, buah yang belum matang dimakan bergaram. Pernah dilaporkan bahwa buah bidara juga direbus dan menghasilkan sirop.
Di Indonesia, daun mudanya diolah sebagai sayuran; daun-daunnya dapat pula dijadikan pakan. Di India, pohon bidara merupakan salah satu dari beberapa jenis tanaman yang digunakan untuk pemeliharaan serangga lak; ranting-ranting yang terbungkus oleh sekresi serangga itu dipungut untuk diproses menjadi sirlak. Kulit kayu dan buahnya menghasilkan bahan pewarna. Kayunya berwarna kemerahan, bertekstur halus, keras, dan tahan lama, dan digunakan sebagai kayu bubut, alat rumah tangga, dan alat-alat lain. Buah, biji, daun, kulit kayu, dan akarnya berkhasiat obat, terutama untuk membantu pencernaan dan sebagai tapal untuk luka. Di Jawa, misalnya, kulit kayunya digunakan untuk menyembuhkan gangguan pencernaan, sedangkan di Malaysia bubur kulit kayunya dapat dimanfaatkan untuk obat sakit perut.
5.Daun Bidara atau daun bidara cina
Bidara acap dipertukarkan identitasnya dengan bidara cina (Ziziphus zizyphus; sinonim Z. jujuba Miller, Z. vulgaris Lamk.).Sebutan yang sekarang ini sering kita dengar dengan panggilan Daun Bidara cina adalah karena Bidara yang terakhir ini dibudidayakan di Cina bagian utara.Dan di Indonesia orang menyebut daun bidara dengan sebutan bidara cina karena juga dalam sebuah sumber ada suatu daerah yang disitu banyak tinggal orang keturunan cina dan menanam daun bidara.Daerah tersebut pun kini dinamakan daerah Bidaracina.
Cara penggunaan daun bidara adalah :
a. Ambil daun bidara pada bilangan ganjil, paling sedikit 7 lembar daun, taruh di penggilingan/cobek dan tumbuklah hingga halus (dicampur sedikir air)
b. Setelah halus, campurkan dalam segelas air untuk diminum
c. Atau dicampur dan diaduk dalam seember air untuk buat mandi
d. Bisa juga di tambah air hujan, ambil air hujan lansung dari atas memakai wadah yang besar
e,Untuk sakit asam urat dan kolestrol, persendiaan ngilu lebih baik di tambah garam beryodium.
jangan lupa sebelum dibuat mandi atau diminun bacakan dulu ayat-ayat ruqyah. Jika dibuat untuk mandi lebih afdhol air daun bidara ditaruh di bateup dan pasien berendam selama 10 menit atau jika tidak ada pada bilasan pertama gunakan air daun bidara lalu gosok-gosok ketubuh dan diamkan selama 5 menitan lalu biilasan kedua gunakan air biasa dan sabun mandi.
Semoga di beri kesembuhan bagi yang mengalami ganguan jin,

INGAT MATI

INGAT MATAI 


CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI PERINGATAN DAN PEMBERI NASEHAT

Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab:

ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﻟِﻠْﻤَﻮْﺕِ ﺫِﻛْﺮًﺍ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻨُﻬُﻢْ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺍﺳْﺘِﻌْﺪَﺍﺩًﺍ ﺃُﻭﻟﺌِﻚَ
ﺍﻟْﺄَﻛْﻴَﺎﺱ

"Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan (menghadapi) kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’"
(HR. Ibnu Majah, Ath-Thabrani, dan Al-Haitsamiy. Lihat; Shahih Ibnu Majah 2/419 dan Shahīh at-Targhīb wa'tTarhīb III/164/3335 oleh Syaikh Al-Albaniy)

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﻛْﺜِﺮُﻭْﺍ ﺫِﻛْﺮَ ﻫَﺎﺫِﻡِ ﺍﻟﻠَّﺬَّﺍﺕِ – ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕ
"Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan, yaitu kematian."
(HR. At-Tirmidzi IV/553/2307, Ibn Mājah II/1422/4258, dan lain-lain)

Diriwatkan bahwa dahulu Khalīfah `Utsmān Ibn `Affān radhiyallahu 'anhu berdiri di daerah kuburan maka beliau menangis hingga basah jenggot beliau. Ada yang bertanya, “Disebutkan Surga dan Neraka namun Anda tidak menangis, maka mengapa Anda menangis karena kuburan ini?” `Utsmān menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallā’Llāhu `alaihi wasallam bersabda:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮَ ﺃَﻭَّﻝُ ﻣَﻨَﺎﺯِﻝِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻓَﺈِﻥْ ﻧَﺠَﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺃَﻳْﺴَﺮُ
ﻣِﻨْﻪُ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﺞُ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺃَﺷَﺪُّ ﻣِﻨْﻪ

“Sungguh, kubur merupakan tempat pertama dari akhirat. Jika seseorang selamat darinya, maka yang berikutnya akan lebih mudah. Namun, jika ia tidak selamat, maka yang berikutnya akan lebih keras lagi.” `Utsmān melanjutkan, “Rasulullah shallā’Llāhu `alaihi wasallam juga bersabda:

ﻣَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﻣَﻨْﻈَﺮﺍً ﻗَﻂُّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺍﻟْﻘَﺒْﺮُ ﺃَﻓْﻈَﻊُ ﻣِﻨْﻪ
“Tidaklah aku melihat suatu pemandangan pun
(di dunia) melainkan kuburan lebih buruk darinya .”
[HR. At-Tirmidzi IV/553/2308; Ibnu Mājah II/1426/4267; Ahmad I/63/454; dan lain-lain]

Ulama Salaf berkata:
ﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎﻟْﻤَﻮْﺕِ ﻭَﺍﻋِﻈًﺎ
“Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat.”
[Lihat; Shifatush Shafwah, vol. I, hal.639]

Baarakallaahu fiykum...
Keutamaan Berdoa Sembari Mengangkat Tangan
Dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ، يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ، أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Rabb kalian Tabâraka wa Ta’âlâ Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia malu terhadap hamba-Nya, bila (sang hamba) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, lalu Ia mengembalikan (kedua tangan hamba itu) dalam keadaan hampa.” [Hadits hasan. Diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah. Baca Shahih Abi Dawud karya Al-Albany dan Tahqiq Musnad Ahmad karya Syu’aib Al-Arna`ûth.]

Senin, 01 Juni 2015

Malam Nisfu Syaban dan Amalan Nisfu Syaban


Malam nisfu Sya’ban (malam 15 Sya’ban) adalah malam mulia menurut sebagian kalangan. Sehingga mereka pun mengkhususkan amalan-amalan tertentu pada bulan tersebut. Benarkah pada malam nisfu Sya’ban punya keistimewaan dari bulan lainnya?

Bulan Sya’ban Secara Umum adalah Bulan Mulia

Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang terletak sebelum bulan suci Ramadhan. Di antara keistimewaannya, bulan tersebut adalah waktu dinaikkan amalan.
Mengenai bulan Sya’ban, ada hadits dari Usamah bin Zaid. Ia pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia tidak pernah melihat beliau melakukan puasa yang lebih semangat daripada puasa Sya’ban. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Bulan Sya’ban –bulan antara Rajab dan Ramadhan- adalah bulan di saat manusia lalai. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2359. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Setiap pekannya, amalan seseorang juga diangkat yaitu pada hari Senin dan Kamis. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ اتْرُكُوا – أَوِ ارْكُوا – هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا
Amalan manusia dihadapkan pada setiap pekannya dua kali yaitu pada hari Senin dan hari Kamis. Setiap hamba yang beriman akan diampuni kecuali hamba yang punya permusuhan dengan sesama. Lalu dikatakan, ‘Tinggalkan mereka sampai keduanya berdamai’.” (HR. Muslim no. 2565)

Keistimewaan Malam Nisfu Sya’ban

Ada hadits yang menyatakan keutamaan malam nisfu Sya’ban bahwa di malam tersebut akan ada banyak pengampunan terhadap dosa.
Di antaranya hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Al-Mundziri dalam At-Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At-Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al-Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari. Al-Bazzar dan Al-Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.”
Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan ia adalah perawi yang dinilai dha’if.”
Hadits lainnya lagi adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban, Allah mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.”
Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif atau di-jarh, namun haditsnya masih dicatat).” Berarti hadits ini bermasalah.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits tersebut dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam nisfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam nisfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhaifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 245).
Intinya, penilaian kebanyakan ulama (baca: jumhur ulama), keutamaan malam nisfu Sya’ban dinilai dha’if. Namun sebagian ulama menshahihkannya.

Amalan di Malam Nisfu Sya’ban

Taruhlah hadits keutamaan malam nisfu Sya’ban itu shahih, bukan berarti dikhususkan amalan khusus pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di malam nisfu Sya’ban dengan shalat jama’ah atau membaca Yasin atau do’a bersama atau dengan amalan khusus lainnya.
Karena mengkhususkan amalan seperti itu harus dengan dalil. Kalau tidak ada dalil, berarti amalan tersebut mengada-ada.
Walau sebagian ulama ada yang menganjurkan shalat di malam nisfu Sya’ban. Namun shalat tersebut cukup dilakukan seorang diri.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nisfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan shalat.”
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nisfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nisfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 23: 131)
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai pendukung sehingga tidak perlu diingkari.” (Majmu’ Al-Fatawa, 23: 132)

Malam Nisfu Sya’ban sama dengan Malam Lainnya

Kalau kita biasa shalat tahajud di luar nisfu Sya’ban, nilainya tetap sama dengan shalat tahajud di malam nisfu Sya’ban.
‘Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nisfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam nisfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam nisfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam nisfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29). (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678)

Cukup Perbanyak Amalan Puasa di Bulan Sya’ban

Kalau mau meraih kebaikan, bisa diraih dengan memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Yang Punya Utang Puasa Ramadhan Segera Lunasi

Bagi yang punya utang puasa Ramadhan, segeralah dilunasi karena bulan Sya’ban adalah bulan terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Perbanyak Pula Amalan Bacaan Al-Qur’an di Bulan Sya’ban

Salamah bin Kahil berkata,
كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ القُرَّاء
“Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan membaca Al Qur’an.”
وَكَانَ عَمْرٌو بْنِ قَيْسٍ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ شَعْبَانَ أَغْلَقَ حَانَوَتَهُ وَتَفْرُغُ لِقِرَاءَةِ القُرْآنِ
‘Amr bin Qois ketika memasuki bulan Sya’ban, beliau menutup tokonya dan lebih menyibukkan diri dengan Al Qur’an.
Abu Bakr Al Balkhi berkata,
شَهْرُ رَجَبٍ شَهْرُ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سَقْيِ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حِصَادِ الزَّرْعِ
“Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.” (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 92748)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Naskah Khutbah Jumat di Masjid Adz Dzikro Ngampel, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, 11 Sya’ban 1436 H
Selesai disusun Jumat pagi, 11 Sya’ban 1436 H di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Minggu, 10 Mei 2015

Aku Insan Kerdil


Sahabatku sekalian dengki adalah menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang yang didengki. Ini adalah sifat tercela karena termasuk sifat Iblis, sifat Yahudi dan sifat makhluk terburuk, baik dahulu maupun sekarang. Dan, karena ini merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dan tidak ridha dengan pembagianNya.
Setiap muslim harus berusaha membuang sifat dengki dan perasaan iri tersebut dari dirinya dengan cara ridha terhadap qadha dan qadarNya serta mencintai kebaikan yang dimiliki saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,supaya kedengkiannya hilang, dan hatinya akan sentiasa tentram insyaAllah
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud :
Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Senin, 04 Mei 2015

Sebab-Sebab Bid'ah

SEBAB-SEBAB BID’AH


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari



Bukan hal yang samar bagi setiap orang, bahwa setiap kejadian memiliki sebab, yang dengannya dapat diketahui benar atau salahnya. Adapun sebab terjadinya bid’ah dengan berbagai ragam bentuknya adalah kembali kepada tiga hal. [1]

Pertama : Kebodohan Tentang Sumber Hukum Dan Cara Pemahamannya
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.

Sesungguhnya bentuk kesalahan yang menyebabkan munculnya bid’ah adalah karena kebodohan tentang Sunnah, posisi qiyas dan tingkatannya, juga tentang gaya bahasa Arab.

Kebodohan terhadap hadits mencakup kebodohan tentang hadits-hadits shahih dan kebodohan menggunakan hadits-hadits dalam penentuan hukum Islam. Dimana yang pertama berimplikasi kepada hilangnya hukum, padahal dasar hukumnya adalah hadits shahih, sedang yang kedua berdampak pada tidak dipakainya hadits-hadits shahih dan tidak berpedoman kepadanya, bahkan digantikan posisinya dengan argumen-argumen yang tidak dibenarkan dalam syari’at.

Sedangkan kebodohan terhadap qiyas dalam penentuan hukum Islam adalah yang menjadikan ulama fikih generasi khalaf yang menetapkan qiyas dalam masalah-masalah ibadah dan menetapkannya dalam agama terhadap apa yang tidak terdapat dalam hadits dan amal, padahal banyaknya kebutuhan untuk mengamalkannya dan tidak ada yang menghalanginya.

Adapun kebodohan tentang gaya bahasa Arab adalah yang menyebabkan dipahaminya dalil-dalil bukan pada arahnya. Demikian itu menjadi sebab adanya hal baru yang tidak dikenal generasi awal.

Sebagai contoh adalah pendapat sebagian manusia tentang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kamu mendengar orang adzan maka katakanlah seperti apa yang dikatakannya kemudian bershalawatlah kepadaku” [Hadits Riwayat Muslim]

Mereka menganggap hadits tersebut sebagai perintah kepada orang yang adzan untuk membaca shalawat setelah selesai adzan, dan beliau memintanya untuk mengeraskan suaranya, sehingga hadits ini dijadikan dalil disyariatkannya bershalawat dengan suara yang keras. Mereka mengarahkan arti perintah bershalawat kepada orang yang adzan dengan alasan bahwa pembicaraan hadits untuk umum kepada semua kaum muslimin, sedangkan orang yang adzan masuk di dalamnya. Atau bahwa ungkapan “ Jika kamu mendengar” mencakup kepada orang yang adzan karena dia juga mendengar adzannya sendiri!

Kedua penakwilan tersebut adalah disebabkan kebodohan tentang gaya bahasa. Sebab permulaan hadits tidak mencakup perintah kepada orang yang adzan, dan akhir hadits datang sesuai dengan awalnya, sehingga tidak mencakup juga kepada orang yang adzan.

Sesungguhnya ulama qurun awal berijma (bersepakat) bahwa mengetahui karakteristik bahasa Arab untuk pemahaman Al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai syarat dasar dalam kebolehan untuk berijtihad dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i.

Adapun kebodohan tentang tingkatan qiyas dalam sumber hukum Islam, yaitu qiyas boleh dipakai apabila tidak ada hadits dalam masalah tersebut, kebodohan akan hal ini mengakibatkan suatu kaum melakukan qiyas padahal terdapat hadits yang kuat, namun mereka tidak mau kembali kepadanya sehingga mereka terjerumus ke dalam bid’ah.

Bagi orang yang mencermati berbagai pendapat ulama fiqih niscaya dia mendapatkan banyak contoh tentang hal ini. Dan yang paling dekat adalah apa yang dikatakan sebagian orang dalam mengqiyaskan orang yang adzan dengan orang yang mendengarnya dalam perintah membaca shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah adzan. Padahal pendapat hadits yang sangat jelas mengenai hukum tersebut sebagaimana telah disebutkan, sedangkan hadits harus di dahulukan atas qiyas. Sebab redaksai, “Jika kamu mendengar adzan … (sampai akhir hadits)” menunjukkan kekhususan perintah membaca shalawat setelah adzan hanya kepada orang yang mendengar adzan.

Kedua : Mengikuti Hawa Nafsu Dalam Menetapkan Hukum
Orang yang terkontaminasi hawa nafsunya bila memperhatikan dalil-dalil sayr’i, dia akan terdorong untuk menetapkan hukum sesuai dengan selera nafsunya kemudian berupaya mencari dalil yang dijadikan pedoman dan hujjah.

Artinya, dia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman penyimpulan dalil dan penetapan hukum. Demikian itu berarti pemutarbalikan posisi hukum dan merusak tujuan syari’at dalam menetapkan dalil.

Mengikuti hawa nafsu adalah akar dasar penyelewengan dari jalan Allah dan lurus. FirmanNya.

“Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah seikitpun?” [Al-Qashash : 50]

Fakta membutktikan bahwa akibat mengikuti hawa nafsu menjadikan berbagai peraturan dalam agama menjadi pudar dan setiap kebaikan menjadi terhapuskan.

Bid’ah karena mengikuti hawa nafsu adalah bentuk bid’ah yang paling besar dosanya di sisi Allah dan paling besar pelanggarannya terhadap kebaikan. Sebab betapa banyak hawa nafsu yang telah merubah syari’at, mengganti agama dan menjatuhkan manusia ke dalam kesesatan yang nyata.

Ketiga : Menjadikan Akal Sebagai Tolak Ukur Hukum Syar’i.
Sesungguhnya Allah menjadikan akal terbatas penalarannya dan tidak menjadikannya sebagai pedoman untuk mengetahui segala sesuatu. Sebab ada beberapa hal yang sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan ada pula yang terjangkau hanya sebatas lahirnya saja dan bukan substansinya. Dan karena keterbatasan akal, maka hampir tidak ada kesepahaman tentang hakikat yang diketahuinya. Sebab kekuatan dan cara pemahaman orang berbeda-beda menurut para peniliti.

Maka, dalam sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal dan penalaran, menusia harus merujuk kepada pembawa berita yang jujur yang dijamin kebenarannya karena mu’jizat yang dibawanya. Dia adalah seorang rasul yang dikuatkan dengan mu’jizat dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang Maha cermat dengan apa yang Dia ciptakan.

Atas dasar ini Allah mengutus para rasulNya untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diridhai Pencipta mereka, menjamin kebahagiaan mereka, dan menjadikan mereka memperoleh keberuntungan dalam kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.

Sesungguhnya sebab-sebab terjadinya bid’ah yang kami sebutkan diatas telah tercakup semua sisinya dan terpadunya pokok-pokoknya dalam hadits.

“Artinya : Akan mengemban ilmu ini dari setiap generasi, orang-orang yang adil di antara mereka yang akan menafikan orang-orang yang ekstrim, dan ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan serta penakwilan orang-orang yang bodoh” [2]

Ungkapan “ perubahan orang-orang yang ekstrim” mengisyaratkan kepada sikap fanatik dan belebihan. Sedang ungkapan “ajaran orang-orang yang melakukan kebatilan “ mengisyaratkan kepada yang menganggap baik mendahulukan akal dan mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum syar’i. Lalu ungkapan “penakwilan orang-orang yang bodoh” mengisyaratkan kepada kebodohan dalam sumber-sumber hukum dan cara pemahamannya dari sumber-sumbernya.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________

Sabtu, 11 April 2015

ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI DARI SUAMINYA

Masalah 292: ALASAN-ALASAN SYAR’I YANG MEMBOLEHKAN SEORANG ISTRI MINTA CERAI (KHULU’) DARI SUAMINYA

Dijawab oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
Tanya:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalamualaikum, mohon penjelasannya, alasan apa yg membolehkan seorg istri agar bs cerai dr suaminya ? Syukron
Jawab:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bismillah. Di dalam agama Islam, pada dasarnya seorang istri dilarang minta cerai (khulu’) dari suaminya kecuali jika didasari dengan alasan2 yg dibenarkan syariat Islam. Diantara alasan2 yg syar’i tsb adalah sbb: 

1. Suami murtad (keluar dr agama Islam n masuk ke agama lain).
2. Suami berbuat kekufuran atau kemusyrikan kpd Allah dengan berbagai macam n bentuknya. Dan telah ditegakkan hujjah atau disampaikan nasehat kepadanya agar bertaubat darinya tapi tidak mendengar n menerima.
3. Suami melarang n menghalangi istri utk melaksanakan kewajiban2 agama, spt kewajiban sholat 5 waktu, kewajiban zakat, memakai hijab syar’I yg menutupi auratnya, menuntut ilmu syar’I yg hukumnya fardhu ‘ain, dsb.

4. Suami memerintahkan n memaksa istri berbuat dosa n maksiat kpd Allah.
5. Suami Berakidah n bermanhaj sesat n menyesatkan dari agama Allah yg lurus n haq. Spt ia menganut paham Syi’ah, Ahmadiyah, ingkar sunnah, dsb.
6. Suami bersikap kasar n keras, serta tidak sayang kpd istri, n akhlaknya buruk.
7. Suami menolak n berpaling dari agama Islam, tidak mau mempelajarinya, n tidak taat n tunduk terhadap aturan2nya.
8. Suami tidak mampu memberikan nafkah wajib bagi istri, baik nafkah lahir maupun “bathin”. Atau suami tidak fertiL, sehingga tdk bisa memberikan keturunan.
9. Istri merasa benci n sdh tidak nyaman hidup brsama suaminya, bukan karena agama n akhlak suami yg baik, tapi karena khawatir tidak bisa memenuhi hak-haknya.
10. Dan alasan2 Lainnya yg syar’i.
Dengan adanya salah satu alasan dari alasan2 ini, maka sang istri boleh minta cerai (khulu’) dari suaminya. Tentunya hal ini dilakukan setelah memberikan nasehat kpdanya secara langsung maupun dengan minta bantuan orang lain yg dianggap mampu menasehatinya n menyingkap kerancuan n kesesatannya. N jg stlh mempertimbangkan antara sisi Maslahat (kebaikan) n mafsadat (kerusakan).
Adapun minta cerai tanpa alasan syar’i maka hukumnya haram n trmasuk dosa besar. Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “.
Dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wanita mana saja yg minta cerai (khulu’) dari suaminya tanpa alasan yg benar (syar’i) , maka diharamkan baginya mencium bau harum Surga.”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no.2055. Dan dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani rahimahullah di dlm Shohih Sunan Ibnu Majah).
Demikian jawaban yg dpt kami sampaikan. Smg mudah dipahami n mnjdi tambahan ilmu yg bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.

Selasa, 24 Februari 2015

Surat Dari Iblis Untukmu


Surat Dari Iblis Untukmu

Sungguh aku telah melihatmu kemarin…
Engkau memulai kehidupan seharian, engkau bangun dan pergi untuk bekerja tanpa memikirkan shalat fajar…!
Di kantor, engkau tidak peduli sama sekali tentang aturan halal haram, sebagaimana yang dilakukan oleh kawan-kawanmu…
Saat engkau pulang ke rumah, engkaupun menyantap makananmu tanpa menyebut nama Allah Sang Pemberi rizki kepadamu…
Juga tidak ada waktu untuk shalat Isya' sebelum tidur, meskipun kamu sempatkan nonton TV sampai engkau tertidur pulas …!
Engkau adalah seorang pengingkar nikmat dan penentang Pemberi nikmat. Aku sangat mencintaimu dengan kelakuanmu itu.
Kelakuanmu adalah salah satu sifat dari sifatku. Aku sangat berbahagia melihatmu hidup seperti itu.
Egkau adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.

Ingatlah, tahun-tahun telah berlalu, tahun berganti tahun, dan di antara kita ada hubungan intim selama puluhan tahun itu. Suatu persahabatan  yang sangat panjang…!
Meskipun demikian, aku tetap tidak mencintaimu.
Aku membencimu dengan segenap hatiku…dan memusuhimu dengan segenap raga dan jiwaku…
Allah telah mengeluarkanku dari sorga setelah aku berpaling dari nikmat-Nya, dan menolak sujud kepada bapakmu, Adam…!
Aku akan berusaha terus untuk menyesatkanmu dengan segala kemampuanku agar engkau sengsara bersamaku.
Terus terang, engkau tidak menggunakan akal dalam memahami hakikat kehidupan ini.
Betapa tidak, Allah telah membuka pintu sorga dan pintu taubat dari dosa untukmu…
Akan tetapi engkau justru menghadap kepadaku… engkau mengharap janjiku, yang itu hanyalah angan-angan, dan pasti akan menghantarkanmu ke neraka…
Terima kasih wahai kekasihku…!
Sungguh aku telah bersumpah kepada Allah untuk menyesatkan seluruh anak keturunan Adam, orang-orang sepertimu…
Aku ingin sekali melaksanakan keinginanku.
Agar aku yakin… bahwa engkau mentaati perintah-perintahku…
Itulah dia, hari-hari yang telah berlalu…!
Engkau beristighatsah, meminta pertolongan dengan ahli kubur… engkau menyandarkan diri kepada mereka saat terkena musibah…
Engkau suka mengerjakan yang bid'ah dan menyelisihi Nabimu serta perintah-perintahnya, karena tidak cukup puas dengan sunnah…!
Engkau berkelompok-kelompok (hizbiyyah ashabiyyah), dengan sebuah anggapan bahwa engkau membela Islam dan memperjuangkannya. Padahal kenyataannya, engkau melayaniku dengan membantuku menjauhkan manusia dari berpegang teguh dengan manhaj salafmu…
Engkau mendengarkan nyanyian-nyanyian…
Engkau melihat film-film…
Engkau kerjakan perbuatan-perbuatan keji dan hal-hal yang diharamkan…
Engkau melaknat manusia… mencuri… menipu… berkhianat… dan seterusnya…
Terima kasih kawan, atas semuanya. Sungguh engkau telah membahagiakanku.
Karena dengan entengnya engkau telah membuat murka Allah…!
Maka marilah sahabat… kita terbakar bersama-sama…!
Di hadapan kita masih banyak langkah untuk kita berdua.
Aku tertawa mengejekmu, saat melihatmu melakukan maksiat dengan disertai tertawaan yang memenuhi tempat tersebut, seakan-akan engkau menantang keagungan Allah…!
Aku menginginkanmu wahai kekasih, agar engkau menyebarkan kerusakan di antara manusia sesamamu…
Doronglah mereka untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa! Tuntunlah mereka, agar bermaksiat kepada Allah dengan segenap cara yang kau mampu! Sebarkanlah di antara mereka film-film dan nyanyian-nyanyian, serta berbagai permainan…!
Setiap kali engkau melihat seseorang beribadah kepada Allah, jangan lupa menghina mereka…
Mencemooh penampilannya, hingga engkau membuatku tertawa.
Maaf… aku sekarang ada urusan… aku akan meninggalkanmu, menyemangati orang-orang lain sepertimu. Cukuplah bagimu pasukanku setan-setan bangsa jin, kelak aku akan kembali.
Melanjutkan kerjasama kita, memikirkan langkah baru bagi maksiat baru…!
Seandainya engkau cerdas, tentu engkau akan lari dariku.
Kemudian engkau memohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosamu.
Lalu engkau hidup dalam ketaatan kepada Allah di tahun-tahun akhir dari usiamu yang tinggal sedikit ini…!
Hingga engkau mendapatkan pahala serta kenikmatan iman, sebelum ridha Allah Subhanaahu wa Ta`ala yang abadi di dalam sorga… daripada engkau dilemparkan ke dalam neraka bersamaku selamanya.
Akan tetapi aku yakin… bahwa engkau lebih mencintaiku daripada kecintaanmu kepada Allah…!
Bahwasannya engkau lebih mendahulukan hawa nafsumu daripada ketaatan kepada Allah dan janji sorga yang masih jauh katamu.
Engkau adalah sahabatku yang terkasih…!
Yang menyesatkanmu,
ttd

Selasa, 20 Januari 2015

NASEHAT

Bismillah
Alhamdulillah
Sahabatku ,semoga di pagi ini tetap seamangat dan juga dalm membuat setatus bisa di rasakannya ,begitu baiknya meluangkan waktu dan pengorbanan nya tdk lah sia sia..

MAKA di saat itu juga ,tulisan tersebut bisa di jadikan obat penawar jasad dan hati ,dan yg lebih penting adalah penawar hati
Jadilah dokter hati, bukan hakim! Kalau kita hobi memvonis orang lain maka kita tidak sedang mengobati. Malah mungkin memperparah penyakit, membinasakan diri dan orang lain. Bukan berarti kita tidak boleh memvonis. Memvonis kadang diperlukan dengan syarat ikhlas, dengan data yang akurat, tidak kadaluwarsa dan memperhatikan maslahat atau madharat. Setiap ucapan dan tulisan kita akan dipertanggungjawabkan kelak di hari akhirat.
Keterbatasan kita banyak sekali. kurang ilmu, lemah iman, sedikit ibadah dan rapuh akhlak. Kita harus memperbaiki diri dan mendidik keluarga. Kita akan ditanya di akhirat kelak atas amanat ini.

Senin, 12 Januari 2015

Filosofi Pengobatan Herbal Sang Debu

Filosofi Pengobatan Herbal Sang Debu

 

Sang debu menasehatkan, “Inti Pengobatan herba tidak bisa di pelajari dalam sebulan-duabulan…butuh bertahun2 untuk merumuskannya…memahaminya sehingga menyatu dan mendarah daging dalam jika, maka apa yang disentuhnya akan bermanfaat dengan menempatkannya dengan benar, hingga izin kesembuhan dari Alloh datang atas sebab itu”.
Misalnya dalam memahami Filosofi Herbal Berikut:
kepenuhan bisa menimbulkan kekosongan, kekosongan bisa menimbulkan kepenuhan, kepenuhan bisa melahirkan pergolakan, pergolakan bisa melahirkan kepenuhan, kepenuhan bisa melahirkan kepenuhan, kekosongan bisa melahirkan kekosongan….penuh, kosong dan bergejolak bisa terjadi bersamaan…penting mencari mana yg menjadi sebab dan mana yg diakibatkan…kembali keahlian diagnosa memegang peranan penting !!!

 kursusramuan.anjrahuniversity.com/tag/sang-debu/

 

Jumat, 02 Januari 2015

KATA MUTIARA PERSAHABATAN

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.
Tetapi penghancur persahabatan ini telah berhasil dipatahkan oleh sahabat-sahabat yang teruji kesejatian motivasinnya.
Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.
Siapa yang ingin bersama kamu pada saat tiada satupun yang dapat kamu berikan??. Merekalah sahabat-sahabat kamu.

Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari pada seribu teman yang mementingkan diri sendiri.
Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita. Ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping kamu??. Siapa yang mengasihi kamu saat kamu merasa tidak dicintai.
Pacar bisa saja putus, bahkan keluargapun bisa saling bermusuhan..
Tetapi tidak dengan sahabat, Sahabat tulus tanpa mengharapkan balasan, Tulus tanpa saling ingin menguasai sesama sahabatnya.