Selasa, 26 November 2013

blog manhaj

http://almanhaj.or.id/
SEPUTAR KITAB BARZANJI
Oleh :ikhwan ta’aruf
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah. Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya..., tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji. Berikut uraiannya :
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.
KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîm satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, lâm satu huruf mîm satu huruf".
KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.
Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.”Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu,Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu”.
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?
Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi terwujud dengan cara menaatinya,Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.
Melakukan amalan bid'ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid'ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi adalah para sahabat Radhiyallahu 'anhum -semoga Allahwa sallam meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas'ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakansallam acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan.
Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". [al-Ahzâb:56]
Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
1). Terkena doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.
2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”
3). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman" [Al-Ahzâb:43]
Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra'd:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni. Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”. Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas yang dapat saya sampaikan tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat…..

Rabu, 20 November 2013



Wajib Menolak Kemungkaran Dengan Hati, Apapun Kondisinya!
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah rahimahullah beliau mengatakan: Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diharuskan atas kalian dari urusan jihad adalah berjihad dengan tangan-tangan kalian, kemudian berjihad dengan lisan-lisan kalian, kemudian berjihad dengan hati-hati kalian. Maka barangsiapa yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, hati itu akan terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawahnya.”  Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mendengar seseorang berkata: “Binasalah orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah yang mungkar.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menimpali: “Binasalah siapa saja yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar.”  Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisyaratkanbahwa mengetahui perkara yang ma’ruf dan yang mungkar dengan hati merupakan perkara yang wajib. Tidak gugur kewajiban tersebut dari seorangpun. Maka barangsiapa yang tidak dapat mengenalinya, dia akan binasa. Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tangan,kewajiban tersebut hanyalah disesuaikan dengan kemampuan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu jugamengatakan: ‘Hampir-hampir saja orang yang hidup di antara kalian akan menyaksikan kemungkaran yang tidak mampu untuk diingkarinya, hanya saja Allah mengetahui dari hati orangtersebut bahwa dia sangat membenci kemungkaran itu’.”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 258-259) Sumber: Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Permata Salaf, renungan penuh hikmah dari para pendahulu kita yang salih





Kemarahan Itu Membinasakan
'Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu,kemarahan, dan ketamakan." Ja'far bin Muhammad rahimahullah berkata, "Kemarahan itu adalah kunci dari segala macamkejelekan."Dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah, "Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak baikdalam satu kata!" Beliau rahimahullah mengatakan, "Menjauhi marah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam,hal. 372, 379) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Kemarahan itu membinasakan. Dia mampu merusak akalsebagaimana khamr mmpu menghilangkan kesadaran." (An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 155)Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 57/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Menghindari Banyak Makan
Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu,memahaminya, dan tidak jemu adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu.  Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makandari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:“Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat terjadi karena makanan atau minuman.”Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ketoilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya.Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidupdari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telahmengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam BadruddinMuhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullah, dengan beberapa perubahan)Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 56/V/1431 H/2003, rubrik Permata Salaf.

Menebar Fitnah Menuai Petaka
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:“Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkanberbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemarmenyebarkannya. Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat,kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, dimana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnahyang besar, berat, dan berkepanjangan.”(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173) Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Waktu Dan Tempat Menghafal Ilmu
SESEORANG hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkanumurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.- Waktu untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.- Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.- Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.Al-Khathib rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk meng hafal adalah waktu sahur, setelah itupertengahan siang, kemudian waktu pagi.”Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, danmenghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempatyang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yangmenghijau,atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnyaakan menghalangi kosongnya hati.”(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahimbin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah) Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 54/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.]

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit
Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbimengatakan: "Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnyaorang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan."Beliau rahimahullah berkata: "Seyogianya orang yang berakal berusah menyempurnakan dirinyasampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinyadapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini merupakanseburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguhsungguh,niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannyaberada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalahkeluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan."Beliau berkata: "Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk diaraih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini,pen.) adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinyaberpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, makalakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklahpemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya.Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlaludengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluputmelainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkankarena kesungguhan dan tekadnya yang bulat." (Awa'iquth Thalab hal. 51-52)Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.53/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Jihad Dan Kesabaran
'Umar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani 'Abbas: "Dengan apakalian memerangi manusia?"  Mereka menjawab: "Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.)melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami."Sebagian salaf berkata: "Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya lukaluka,akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran."Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:"Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir.Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa danhawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:"Seorang mujahid adlah yang memerangi jiwanya karena Allah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516)Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): "Yakni memaksajiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandungkeridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhikemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macamjihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri,tidaklah mungkin baginya utk dpt berjihad memerangi musuh yg di luar jiwanya (musuh yg dhahir)" Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.52/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf

Sabtu, 16 November 2013

RENUNGAN HATI: ~:* Perhiasan Dunia *:~

RENUNGAN HATI: ~:* Perhiasan Dunia *:~: بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Sungguh tak terbayangkan bagaimana indahnya hidup bersama istri shalihah. Istri yang s...

Rabu, 21 Agustus 2013

Memahami Takdir Allâh Subhanahu wa Ta’ala Menurut Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

 

MEMAHAMI TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA T'ALA MENURUT PERSPEKTIF AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A


Iman kepada takdir dan ketentuan Allâh Azza wa Jalla bagi semua makhluk-Nya termasuk bagian dari prinsip dasar agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad n . Oleh karenanya, keimanan seorang hamba tidak akan menjadi benar di sisi Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah memahami dan meyakini masalah ini dengan benar [1].

Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya [2].

Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]

DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].

Adapun pengertian al-qadar dalam syariat adalah keterkaitan ilmu dan kehendak Allâh Azza wa Jalla yang terdahulu terhadap semua makhluk (di alam semesta) sebelum Dia Azza wa Jalla menciptakannya. Maka, tidak ada sesuatu pun yang terjadi (di alam ini) melainkan Allâh Azza wa Jalla telah mengetahui, menghendaki dan menetapkannya[7], sesuai dengan kandungan hikmah-Nya yang maha sempurna[8] .

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa keyakinan para pengikut kebenaran adalah menetapkan (mengimani) takdir Allâh, yang berarti bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan takdir segala sesuatu secara azali (terdahulu), dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu (tertentu), dan di tempat-tempat (tertentu) yang diketahui-Nya, yang semua itu terjadi sesuai dengan ketetapan takdir-Nya.”[9]

Sedangkan pengertian al-qadha’ secara bahasa adalah hukum. Adapun dalam syariat, pengertiannya kurang lebih sama dengan al-qadar, kecuali jika keduanya disebutkan dalam satu kalimat secara bersamaan maka masing-masing mempunyai arti tersendiri [10] .

Ketika menjelaskan perbedaan antara keduanya, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “al-Qadar adalah apa yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan secara azali (terdahulu) yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi pada (semua) makhluk-Nya. Sedangkan al-qadhâ’ adalah ketetapan Allâh Azza wa Jalla pada (semua) makhluk-Nya, dengan menciptakan, meniadakan (mematikan) dan merubah (keadaan mereka). Ini berarti takdir Allâh Azza wa Jalla mendahului (al-qadhâ).”[11]

DALIL-DALIL PENETAPAN TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Dasar-dasar penetapan takdir terdapat dalam al-Qur`ân dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:
1. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Para Imam Ahli Sunnah memegangi ayat yang mulia ini sebagai dasar (wajibnya) menetapkan takdir Allâh Azza wa Jalla yang mendahului semua makhluk-Nya, yang berarti (meyakini bahwa) Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, dan Dia telah menuliskannya (dalam Lauhul Mahfûzh) sebelum menciptakannya.”[12]

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

"Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfûzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadiid/57:22]

3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”[13]

4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali Allâh telah menetapkan tempatnya di surga atau tempatnya di neraka.” Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh, (kalau demikian) apakah kita tidak bersandar saja pada ketentuan takdir kita dan tidak perlu melakukan amal (kebaikan) ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah amal (kebaikan), karena setiap manusia akan dimudahkan (untuk melakukan) apa yang telah ditetapkan baginya, manusia yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia (masuk surga) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang berbahagia, dan manusia yang termasuk golongan orang-orang yang celaka (masuk neraka) maka dia akan dimudahkan untuk melakukan amal golongan orang-orang yang celaka.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca :

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ ﴿١٠

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allâh) dan bertakwa (kepada-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah (kebaikan). Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (berpaling dari petunjuk-Nya), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (keburukan) [al-Lail/92:5-10][14]

TINGKATAN-TINGKATAN IMAN KEPADA TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA [15]
Syaikh Muhammad bin ShâlIh al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani empat perkara :

1. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla mengetahui segala sesuatu yang terjadi secara global maupun terperinci dengan ilmu-Nya yang terdahulu, sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya, "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allâh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allâh [al-Hajj/22:70]

2. Mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla menulis semua ketetapan takdir bagi segala sesuatu dalam Lauhul Mahfûzh, sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, "Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allâh [al-Hadîd/57:22]

Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Allâh telah menuliskan atau menetapkan ketentuan takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”[16]

3. Mengimani bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di langit dan di bumi kecuali dengan kehendak Allâh yang bersumber dari kasih-sayang maupun hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan kasih sayang-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia Azza wa Jalla tidak pantas ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, karena kesempurnaan sifat hikmah dan kekuasaan-Nya. Manusialah yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka. Segala sesuatu yang terjadi (di alam semesta) adalah sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu dan dengan ketetapan yang ditulis-Nya dalam Lauhul Mahfûzh. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]

4. Mengimani bahwa segala sesuatu (yang ada) di langit dan di bumi adalah makhluk Allâh Azza wa Jalla , tidak ada pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta selain-Nya, sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ketentuan takdirnya [al-Furqân/25:2].

Juga dalam firman-Nya tentang ucapan Nabi Ibrahim Alaihssallam, yang artinya, "Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu [ash-Shâffât/37:96]”[17]

PEMBAGIAN TAKDIR ALLAH
Takdir Allâh Azza wa Jalla ada dua macam :
Pertama : Takdir (yang bersifat) umum dan meliputi semua makhluk yang tertulis dalam Lauhul Mahfûzh. Karena Allâh Azza wa Jalla telah menuliskan di dalamnya ketetapan takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat tiba. Dasarnya riwayat dalam Sunan Abu Dawud rahimahullah dari ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, '(Makhluk) yang Allâh ciptakan pertama kali adalah al-qalam (pena). Kemudian Allâh berfirman kepadanya, “Tulislah!” . Maka dia bertanya, "Wahai Rabb-ku, apa yang akan aku tulis?" Allâh berfirman, “Tulislah ketetapan takdir segala sesuatu sampai terjadinya hari Kiamat.”[18]

Kedua : Takdir (khusus) yang memerinci takdir umum. Ini terbagi menjadi 3 macam takdir :

1. Takdir (sepanjang) umur (ketetapan takdir sepanjang hidup setiap makhluk), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu [19] tentang ketentuan takdir yang dituliskan bagi janin ketika dalam kandungan ibunya, berupa ketetapan ajal, rezki, amal perbuatan, celaka atau bahagia.

2. Takdir tahunan, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala) pada saat lailatul qadr tentang kejadian-kejadian sepanjang tahun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿٣﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi (lailatul qadr) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu ditetapkan dengan terperinci segala urusan (ketetapan takdir sepanjang tahun[20] ) yang muhkam (tidak bisa berubah) [ad-Dukhân/44:3-4].

3. Takdir harian, yaitu takdir yang di tetapkan (oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tentang kejadian-kejadian dalam sehari, berupa kematian, kehidupan (kelahiran), kemuliaan, kehinaan, dan lain sebagainya[21] . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Setiap hari Dia (mengatur) urusan (semua makhluk-Nya) [ar-Rahmaan/55:29][22]

MENGINGKARI TAKDIR ALLAH AZZA WA JALLA SAMA DENGAN BERBURUK SANGKA KEPADA-NYA
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ ۖ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ

Mereka berprasangka yang tidak benar terhadap Allâh seperti persangkaan (orang-orang) jahiliyah, mereka berkata, "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini ?" Katakanlah, “Sesungguhnya urusan (ketetapan takdir) itu seluruhnya di tangan Allah.” [Ali ‘Imrân/3:154]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan arti “zhannal jaahiliyyah” dalam ayat ini, beliau berkata, “Persangkaan orang-orang Jahiliyah di sini ditafsirkan (oleh para ulama ahli tafsir) dengan mengingkari hikmah dan takdir Allâh (atas seluruh makhluk-Nya), atau mengingkari bahwa Allâh akan memenangkan agama (yang dibawa) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengunggulkannya di atas agama-agama lainnya.

Inilah persangkaan buruk kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan) dalam firman-Nya, yang artinya, "Dan supaya Allâh mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan, yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allâh memurkai, mengutuk serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah seburuk-buruk tempat kembali” [al-Fath/48:6]

Persangkaan ini (disebut) persangkaan buruk, dan persangkaan Jahiliyah yang dinisbatkan kepada orang-orang jahil (bodoh), serta persangkaan yang tidak benar, karena ini merupakan prasangka yang tidak cocok bagi nama-nama Allâh yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi serta zat-Nya yang maha suci dari segala keburukan dan celaan

Termasuk berprasangka buruk kepada-Nya, orang yang mengingkari ketetapan takdir-Nya atas semua yang berlaku di alam semesta, (dan Dia menakdirkan semua itu) dengan hikmah-Nya yang maha sempurna dan untuk tujuan kebaikan (bagi hamba-hamba-Nya), yang dengan itu Dia berhak untuk dipuji (oleh hamba-hamba-Nya)…Maka Dia tidaklah menciptakan dan menakdirkan semua itu dengan sia-sia dan tanpa tujuan. (Allah k berfirman), yang artinya, "Yang demikian itu adalah prasangka (buruk) orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka” [Shâd/38:27].”[23]

Prasangka buruk ini, disamping dosanya sangat besar bahkan bisa sampai pada tingkat kekafiran, tentu saja akibatnya pun sangat fatal dan buruk bagi pelakunya. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memeperlakukan hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi :

أَنَا عِنْدَ ظَنِّّ عَبْدِي بِي

Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku [24] .

Makna hadits ini yaitu Allâh akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut.[25]

PENGERTIAN TAKDIR YANG BURUK ?
Dalam beberapa hadits yang shahih disebutkan bahwa ada takdir buruk dari Allâh Azza wa Jalla, misalnya dalam hadits Jibril yang terkenal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.”[26]

Juga dalam doa qunut saat shalat Witir, yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucu kesayangan beliau, Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma, “…(Ya Allah) jagalah diriku dari keburukan takdir yang Engkau tetapkan.”[27]

Apakah arti takdir-Nya yang buruk ? Apakah ada perbuatan Allâh yang buruk? Bukankah Allâh Azza wa Jalla Maha Indah dan sempurna semua sifat dan perbuatan-Nya, serta Maha Suci dari semua bentuk keburukan ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam doa iftitah, “…Kebaikan itu semua ada di tangan-Mu dan keburukan itu tidaklah ada pada-Mu…”[28]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan di atas[29] dengan mengatakan, “Keburukan (yang ada) pada takdir bukanlah ditinjau dari takdir Allâh (perbuatan-Nya menakdirkan), akan tetapi keburukan tersebut (ada pada) al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya), karena (kata) al-qadar (bisa) berarti at-taqdîr (perbuatan Allâh yang menakdirkan) dan (bisa) berarti al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya). Sebagaimana (kata al-khalqu bisa berarti) menciptakan dan (bisa berarti) makhluk (yang diciptakan-Nya)…

Oleh karena itu, (jika) ditinjau dari perbuatan Allâh yang menakdirkan maka tidak ada keburukan (sedikitpun padanya) bahkan semuanya adalah kebaikan, meskipun tidak sesuai dengan (keinginan) manusia dan menyakitkan. Adapun kalau ditinjau dari al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) maka kita katakan: ada yang baik dan ada yang buruk. Sehingga arti (kalimat) “takdir yang baik dan yang buruk” adalah al-maqdûr (sesuatu yang ditakdirkan/ditetapkan-Nya) ada yang baik dan ada yang buruk.

Kita bisa menjadikan contoh dalam masalah ini dengan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "Telah nampak kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (dosa) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [ar-Rûm/30:41].

Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kerusakan (bencana) yang terjadi (di muka bumi), beserta sebab dan hikmahnya. Kerusakan (bencana) adalah keburukan, sebabnya adalah perbuatan buruk manusia, dan tujuan bencana tersebut adalah supaya mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Maka terjadinya keburukan (bencana) di daratan dan di lautan adalah dengan hikmah (yang agung), meskipun bencana itu sendiri adalah keburukan, akan tetapi karena padanya ada hikmah yang agung (yaitu agar manusia kembali ke jalan yang benar), maka dengan ini (berarti) perbuatan Allâh menakdirkan bencana tersebut adalah kebaikan.

Demikian pula perbuatan maksiat dan kekafiran adalah keburukan, dan semuanya (terjadi) dengan ketetapan takdir-Nya, akan tetapi (Dia menakdirkannya) dengan hikmah yang agung, kalau bukan karena (hikmah tersebut) maka akan sia-sialah hukum-hukum syariat (yang Allâh Azza wa Jalla turunkan) dan (jadilah) penciptaan manusia tanpa tujuan dan makna.”[30]

FAIDAH DAN MANFAAT MENGIMANI TAKDIR-NYA[31]
1. Iman kepada takdir-Nya adalah penyempurna keimanan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak akan benar keimanan seorang hamba tanpa ini, karena mengimani takdir Allâh Azza wa Jalla termasuk rukun iman.

2. Iman kepada takdir-Nya termasuk penyempurna tauhid Rububiyyah dan tauhid nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

3. Mendatangkan ketenangan dan kelapangan jiwa serta tidak gelisah dalam menghadapi kesulitan di dunia ini, karena semuanya terjadi dengan ketetapan Allâh Azza wa Jalla dan tidak mungkin dihindari.

4. Meringankan beban saat tertimpa musibah, sehingga mudah baginya untuk bersabar dan meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu” [at-Taghâbun/64:11].

Imam Ibnu Katsir t mengatakan, "Maknanya, seseorang yang ditimpa musibah dan dia yakin musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Azza wa Jalla ), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh tersebut, maka Allâh akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya"[32] .

5. Orang yang mengimani takdir akan selalu mengembalikan semua urusannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena jika dia mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir dan ketetapan-Nya maka dia akan selalu kembali kepada-Nya dalam memohon taufik dan kebaikan baginya dan menolak keburukan darinya, serta menyandarkan semua kebaikan dan nikmat kepada-Nya semata. Inilah landasan utama segala kebaikan bagi seorang hamba dan sebab utama meraih taufik dari Allâh Azza wa Jalla [33] .

6. Menyadarkan seseorang terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya, sehingga dia tidak merasa bangga dan lupa diri ketika melakukan kebaikan.

7. Menjadikan orang yang beriman semakin mengetahui kesempurnaan hikmah Allâh Azza wa Jalla.

8. Menjadi motivasi bagi orang yang beriman untuk semakin semangat berbuat kebaikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

9. Berani dan tegar dalam menegakkan agama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak takut terhadap celaan manusia dalam kebenaran.

10. Merasa kaya/berkecukupan dalam hati. Inilah kekayaan yang hakiki. Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "…Ridhalah (terimalah) bagian yang Allâh tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[34] .

PENUTUP
Demikianlah, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk mencapai kesempurnaan iman dan tauhid, yang dengan sebab itu kita akan meraih semua kebaikan, keutamaan dan kedudukan yang mulia dalam agama-Nya, dengan rahmat dan kerunia-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi maha Mengabulkan permohonan hamba-Nya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. at-Tamhîd Lisyarhi Kitâbit Tauhîd, hlm. 549
[2]. Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam al-Qaulul Mufîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd, 3/159
[3]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Azza wa Jalla. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 131
[4]. Lum’atul I’tiqâd hlm. 114
[5]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah 5/51
[6]. al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 226
[7]. al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 226
[8]. Syarhu Ushûlil Imân hlm. 50
[9]. Kitab “Syarhu shahihi Muslim” (1/154).
[10]. Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah (2/187-188)
[11]. Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/188
[12]. Kitab Tafsîr Ibnu Katsîr (4/341).
[13]. HR Muslim (no. 8).
[14]. HR al-Bukhâri (no. 4666) dan Muslim (no. 2647).
[15]. Lihat al-Aqidatul Wasithiyyah hlm.22, Syarhu Ushulil Iman hlm.50, al-Irsyad ila Shahihil I'tiqad hlm.226-227
[16]. HR.Muslim no. 2653
[17]. Syarhu Lum’atil I’tiqâd hlm. 92-93
[18]. HR Abu Dâwud no. 4700, at-Tirmidzi no. 3319. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
[19]. HR. al-Bukhâri no. 1226 dan Muslim no. 2643
[20]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/175
[21]. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 830
[22]. al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm. 227
[23]. Zâdul Ma’âd 3/196
[24]. HR. al-Bukhâri no. 7066- cet. Daru Ibni Katsir dan Muslim no. 2675
[25]. Lihat Faidhul Qadîr 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi 7/53
[26]. HR. Muslim no. 8
[27]. HR Abu Dâwud no. 1425, an-Nasâ’i no. 1745, Ibnu Mâjah no. 1178. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
[28]. HR. Muslim (no. 771).
[29]. Lihat juga keterangan Imam Nawawi dalam Syarhu Shahîhi Muslim 6/59
[30]. Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/191-192
[31]. Pembahasan ini kami rangkum dari kitab-kitab berikut: Syarhul ‘Aqîdatul Wâsithiyyah 2/189-190, “al-Irsyâd ilâ Shahîhil I’tiqâd hlm.229-231, Syarhu Ushûlil Imân (hal. 55-56) dan Arkânul Islâm wal Imân” (78-81).
[32]. Tafsir Ibnu Katsir (8/137).
[33]. al-Fawâid karya Ibnul Qayyim hlm. 97
[34]. HR at-Tirmidzi no. 2305 dan Ahm

Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

 

Kamis, 28 Maret 2013

mutiara hadits

Dari Abul-Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idi rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku suatu amal, jika aku lakukan akau akan dicintai Alloh dan dicintai oleh manusia. “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya dicintai Alloh dan zuhud lah terhadap apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam yang lainnya dengan sanad yang shahih)

Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena berisi landasan untuk mendapatkan cinta Alloh dan cinta manusia.
Cinta Alloh Dan Cinta Manusia
Cinta Alloh dapat diraih dengan menunaikan hak-hakNya dan demikian juga cinta manusia dapat diraih dengan menunaikan hak-haknya dan memperlakukan mereka secara adil dan baik. Mendapat cinta Alloh adalah tujuan utama seorang hamba dalam hidupnya, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hal-hal yang mendatangkan kecintaan Alloh.
Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Maka zuhud terhadap dunia maksudnya apabila berbuat bukan demi mendapatkan nilai duniawi tetapi semata-mata lillah, maka sama saja baginya mendapat pujian atau mendapat celaan manusia.
Zuhud terhadap milik manusia maksudnya tidak ada dalam hatinya keinginan dan perhatian terhadap sesuatu yang menjadi milik orang lain. Barang siapa yang bisa merealisasikan dalam dirinya zuhud dengan pengertian di atas maka dia akan meraih cinta Alloh dan cinta manusia.