Kamis, 27 November 2014

Sebelum engkau menyalahkan anakmu…

Sebelum engkau menyalahkan anakmu… Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

 مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ

 “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah [yaitu dalam keadaan Islaam, yang lurus aqidah dan akhlaqnya] فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

 Maka kedua orang-tuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟ (Perumpamaan demikian) sebagaimana hewan melahirkan anaknya yang sempurna, Adakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?”

 (HR Bukhariy, Muslim, dan selainnya)

 Berhati-hatilah wahai para orang tua, sesungguhnya dalam hadits diatas mengandung perintah bagi orang tua agar mereka mendidik anak-anak mereka untuk TETAP DIATAS FITHRAH, sekaligus mengandung ancaman bagi orang tua yang mengajarkan kesesatan atau membiarkan anaknya berada diatas kesesatan. Ada tiga kelompok yang masuk dalam ancaman hadits diatas: 1. orang tua yang mengajarkan anaknya aqidah dan akhlaq yahudi, nashara, majusi. 2. orang tua yang tidak mengajarkan (secara langsung), akan tetapi ia beraqidah serta berakhlaq yahudi, nashara dan majusi; atau menyerupai aqidah serta akhlak mereka… sehingga ia mencontohkan kepada anaknya melalui perbuatannya.. sehingga anaknya pun mengikutinya. 3. orang tua yang tidak mengajarkan anaknya, tidak pula mencontohkan demikain, akan tetapi MEMBIARKAN anaknya… yakni dengan TIDAK MENDIDIK MEREKA dengan pendidikan Islam sejak dini,

 TIDAK MENJAGA PERGAULAN MEREKA serta TIDAK MENYEKOLAHKAN MEREKA ke sekolah yang benar.. sehingga lingkungan anaknya tersebut merubahnya beraqidah serta berakhlaq yahudi, nashara, maupun majusi (atau menyerupai aqidah atau akhlaq mereka).. wallaahu a’lam… Maka hendaknya kita berusaha untuk menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut untuk diri kita, kemudian mendakwahkan ilmu tersebut kepada keluarga kita (anak dan istri, khususnya anak) agar ia tetap diatas fithrahnya.. dan agar ia tidak teracuni aqidah maupun akhlaq yahudi, nashara maupun majusi.. apalagi sampai beragama dengan agamanya yahudi, nashara maupun majusi.. na’uudzubillaah… Semoga Allah menetapkan kita dan keluarga kita diatas fithrahNya, hingga akhir hayat kita.. aamiin..

Kamis, 06 November 2014

Ziarah Kubur Untuk “Memberi” Bukan “Menerima”
Paradigma pemikiran yang terbalik dan perlu diluruskan, yaitu banyak orang beranggapan bahwa ziarah kubur adalah untuk menerima bukan untuk memberi. Padahal yang benar, ziarah kubur itu untuk memberi, bukan untuk menerima. Kita berziarah adalah untuk mendoakan, bukan untuk meminta doa atau keberkahan. Kita juga berziarah adalah untuk mengingatkan diri kepada kematian dan hari akhir, bahwa para ahli kubur tersebut sudah mati dan tidak mampu beramal lagi. Bukan malah menjadikan mereka seakan orang yang hidup terus, sehingga mampu mendoakan kita, atau menjadi perantara antara diri kita dengan Allah, atau memudahkan urusan kita, dan lain sebagainya. Karena paradigma “ziarah untuk menerima” inilah, banyak dari para peziarah lebih menggantungkan hatinya kepada para mayit. Padahal seharusnya mereka menggantungkan hati dan harapannya kepada Allah Jalla Jalaaluhu. Seharusnya kita selalu camkan ayat berikut ini saat berziarah: تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Itulah umat yg telah lalu, BAGI MEREKA apa yg mereka lakukan, sedang BAGI KALIAN apa yg kalian lakukan, dan kalian tidak akan ditanyai tentang apa yg mereka lakukan” (QS. Al Baqarah: 134, 141) Wallahu a’lam.

Rabu, 05 November 2014

Penyakit-Penyakit Lisan

Penyakit-Penyakit Lisan Lisan terkadang menjadikan pemiliknya terjerembab ke dalam api neraka. Allah berfirman tentang penduduk surge bahwa mereka bertanya kepada penduduk neraka: مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ () قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ () وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ () وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ () وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ () حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ () “(Penduduk surge bertanya) ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam saqar (Neraka)?’ Mereka (penduduk neraka) menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) member makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian’.” (Al-Muddatstsir: 42-47) Ibnu Katsir berkata tentang firman-Nya (adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya): “Maksudnya, kami membicarakan sesuatu yang tidak kami ketahui. Qatadah berkata: ‘Kami seorang yang sesat itu tersesat, maka kami tersesat bersamanya’.” Dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu mengatakan suatu kalimat yang diridhai Allah yang mana dia tidak menaruh perhatian tentangnya, yang dengan sebab kalimat itu Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu kalimat yang dimurkai Allah, yang mana dia tidak menaruh perhatian tentangnya, maka dengan sebab kalimat itu dia terjatuh ke jahannam.” Muslim juga meriwayatkan yang semakna dengannya (4/2290) Berikut ini sebagian penyakit-penyakit lisan: 1. Mengucapkan kesyirikan dan kekufuran Misalnya berdoa kepada selain Allah dalam perkara yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah, bersumpah dengan selain nama Allah, bernadzar kepada selain Allah. Lisan wajib dijaga dari kesyirikan-kesyirikan seperti ini. Dan mengucapkan kalimat kesyirikan merupakan penyakit lisan yang paling besar. Terkadang lisan juga mengucapkan kekufuran, seperti mencela Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah kekufuran. Allah berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia: وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ () لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66) 2. Mengucapkan perkara bid’ah Seperti dzikir berjamaah, mengajak kepada bid’ah, menganjurkan untuk mengadakan peringatan maulid Nabi, dan puasa di bulan Rajab. Bid’ah merupakan sesuatu yang diharamkan dan merupakan kesesatan. Dan tidak ada bid’ah yang baik, karena Nabi telah bersabda: “Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” Kata (setiap) merupakan sebuah bentuk kata yang bermakna umum. Juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari ‘Aisyah, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru dalam perkara kami ini (agama) yang bukan bagian darinya, maka perkara itu tertolak.” 3. Ghibah Definisi ghibah telah jelas, sebagaimana disebutkan di dalam hadits riwayat Muslim (4/2001, no. 2589): Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibnu Hujr telah mengabarkan kepada kami, mereka berkata: Isma’il mengabarkan kepada kami dari Al-‘Ala’, dari bapaknya, dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah berkata: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata: “Engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Ditanyakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat Anda jika sesuatu yang saya katakana itu ada pada diri saudaraku?” Beliau berkata: “Jika yang kau katakan itu ada pada dirinya, maka sungguh engkau telah mengghibahinya. Sedangkan jika tidak ada pada dirinya maka sungguh engkau telah membuat kedustaan terhadapnya.” ( Diambil dari Nasehat Untuk Kaum Musliman, Pustaka Ar Rayyan