Rabu, 31 Desember 2014

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN



Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA


KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , "Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât 'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ'/17:19]

Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].

Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak."[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


http://almanhaj.or.id/content/3577/slash/0/shalawat-nariyah-dalam-timbangan/


Selasa, 30 Desember 2014

Hukum Membunuh Semut dan Kecoak yang Mengganggu



Bagaimana hukum membunuh semut dan kecoak jika mengganggu? Padahal dalam hadits disebutkan bahwa semut tidaklah boleh dibunuh. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat hewan: semut, lebah, burung Hudhud dan burung Shurad.” (HR. Abu Daud no. 5267, Ibnu Majah no. 3224 dan Ahmad 1: 332. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sedangkan dalam hadits lain ada keterangan mengenai hewan fasik yang boleh untuk dibunuh karena sifatnya mengganggu. Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Ada lima jenis hewan fasik yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).

(HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)

Apa yang dimaksud hewan yang fasik? Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (8: 114) menjelaskan bahwa makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.
Kita lihat yang dimaksud dengan hewan fasik adalah hewan yang mengganggu sebagaimana keterangan dari ulama besar Syafi’iyah yaitu Imam Nawawi rahimahullah di atas.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pernah ditanya: Apa hukum membunuh hewan-hewan kecil (serangga) yang ada di rumah sepeerti semut dan kecoak? Apakah hewan semacam itu boleh dibunuh dengan air atau dibakar? Kalau tidak boleh, apa yang mesti dilakukan?
Syaikh rahimahullah menjawab,

Hewan-hewan semacam itu jika mengganggu, boleh untuk dibunuh asalkan tidak dimusnahkan dengan api. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lima hewan yang kesemuanya disebut hewan fasik yang boleh dibunuh di tanah halal maupun tanah haram yaitu burung gagak, al hada-ah, tikus, kalajengking dan anjing galak.

Dalam hadits shahih lainnya disebutkan pula ular.
Hadits di atas itu shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi perintah membunuh hewan-hewan yang telah disebutkan. Di dalamnya juga termasuk perintah membunuh hewan-hewan yang semakna dengannya yaitu sama-sama mengganggu seperti semut, kecoak, lalat, dan hewan buas. Semua hewan tersebut boleh dibunuh jika mengganggu.

Sedangkan semut yang tidak mengganggu tidaklah dibunuh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh semut, lebah, burung hud-hud, dan shurod. Semua hewan tersebut tidaklah dibunuh jika tidak mengganggu sedikit pun. Adapun jika mengganggu, maka dibunuh sebagaimana lima hewan fasik yang telah disebutkan.
Wallahu a’lam.
(Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/175)

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

 http://rumaysho.com/umum/hukum-membunuh-semut-dan-kecoak-yang-mengganggu-9975?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+rumaysho%2FrFAC+%28Feed+Rumaysho.com%29

Senin, 29 Desember 2014

Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah


Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah. Istri shalihah, yaitu istri yang baik akidahnya, amal ibadahnya dan baik pula akhlaknya. Bagi seorang suami, istri shalihah tak sekedar istri. Ia adalah teman di setiap  langkah kehidupan, pengingat di kala lalai, penuntun di saat tersesat, dan ia adalah ustaadzah bagi rumah tangganya. Sungguh, tiada kebahagiaan di dunia yang lebih indah daripada bersanding dengan istri shalihah.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَة
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” 
 (HR. Muslim no. 1467)

Menjadi istri shalihah adalah sebuah kemungkinan yang dapat diraih dengan keihklasan dan bersungguh-sungguh dengan penuh ketulusan. Pelajarilah bagaimana wanita terdahulu mampu meraihnya. Contohlah mereka dan lakukan dalam rumah tangga kita. Jika sudah demikian, bersabarlah untuk memetik hasilnya.
Kita sadari bahwasanya,

Kita bukanlah Hajar, yang begitu taat dalam ketakwaan,
Kita bukanlah Asiyah, yang begitu sempurna dalam kesabaran,
Kita bukanlah Khadijah, yang menjadi teladan dalam kesetiaan,
Kita bukanlah ‘Aisyah, yang menjadikan indah seisi dunia,
Tetapi kita, hanyalah seorang istri yang berusaha meraih predikat “Shalihah”.

Wa shallallaahu ‘ala nabiyyiinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

Minggu, 28 Desember 2014

Website Bermanhaj Salaf, selami lautan ilmu dan ambil mutiaranya..


http://www.yufid.com/
(Islamic Search Engine – Mesin Pencari Ilmu Islam)
http://lidwa.com/app/
(Kitab Hadits Terjemahan)
http://konsultasisyariah.com/
(Konsultasi Syariah)
http://muslim.or.id/soaljawab/
(Tanya-Jawab Agama Islam)
http://www.kajian.net/kajian-audio/Ceramah
(Kumpulan Ceramah/kajian Islam)
http://english.islamway.com/sindex.php?section=erecitorslist
(Download murottal / Qiroah Al Qur’an)
http://www.ahsan.tv/video-kajian/videos
(Download Video Kajian Ilmiyah)
http://yufid.org/mufiidah-perpustakaan-islam-digital/
(Perpustakaan Islam Digital)
=================
WEBSITE ILMU ISLAM
http://www.alsofwah.or.id/
http://muslim.or.id/
http://www.abuayaz.co.cc/
http://abuzuhriy.com/
http://alqiyamah.wordpress.com/
http://pengusahamuslim.com/
http://almanhaj.or.id/
http://ahlulhadiits.wordpress.com/
http://assunnah-qatar.com/
http://salafiyunpad.wordpress.com/
http://www.salafy.or.id/
http://www.darussalaf.or.id/
http://darussunnah.or.id/
http://almakassari.com/
http://kaahil.wordpress.com/
http://www.mufiidah.net/
http://ekonomisyariat.com/
http://ainuamri.wordpress.com/
http://ahlussunnah.info/
http://www.raudhatulmuhibbin.org/
http://www.daarussunnah.co.nr/
http://salafyitb.wordpress.com/
http://assunnah.web.id/
http://annaufal.co.cc/
http://quranicaudio.com/
http://ulamasunnah.wordpress.com/
http://perpustakaan-islam.com/
http://samuderailmu.wordpress.com/
http://www.desasalaf.co.cc/
http://ngaji-online.com/
http://haditsarbain.wordpress.com/
http://badaronline.com/
http://arabindo.co.nr/
http://moslemsunnah.wordpress.com/
=================

Sabtu, 27 Desember 2014


بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, Amma ba'du..
Kegelisahan terlahir akibat tidak adanya keseimbangan antara harapan dari hati, pikiran dan kenyataan. Adanya permasalahan hidup manusia muncul kepermukaan lebih disebabkan oleh hanya semata-mata dipersepsikan pada logika berpikir yang sempit. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan dari kita mendefinisikan masalah berupa kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi. LEBIH dari itu, harusnya dalam hidup seorang mukmin segala apa yang terjadi dalam kehidupan ini diposisikan semata-mata atas kehendak-Nya.

Bukan mengandalkan semata-mata pada persepsi akal manusia, sebab kadang kala akal ini terselimuti oleh tumpukkan kotoran-kotoran hawa nafsu manusia itu sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS. Taghaabun [64]: 11, mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang, kecuali dengan ijin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.

Ketidakadaan atau tenggelamnya kesadaran pola pikir seperti itu, maka akan melahirkan kegelisahan hidup manusia. Pasalnya bagi manusia model demikian tidak menyadari sepenuhnya akan sunnatullah kehidupan manusia yang selalu dihadapkan pada sejumlah besar tantangan.
Tantangan, pada hakikatnya bukan untuk dihindari, melainkan justru untuk dilakoni. Hidup itu sendiri adalah tantangan, adalah masalah. Mengapa kita mesti menghindar? Di sinilah kadang-kadang kita lupa pada kesejatian diri.

Di mana pun dan kapan pun kita hidup, masalah dan tantangan akan selalu datang menjemput. Hidup adalah inheren, sekaligus identik, dengan masalah dari tantangan itu sendiri. Kalau kita menghadapinya dengan hati tegar dan ikhlas, semua masalah itu akan sirna. Kalau kita tertelikung dengan masalah, sesungguhnya bukan masalah itu sendiri sebagai masalah.
Maka dari itu semangatlah dan bangkitlah!! ,dari suatu kegelisasaan menuju juga kemenangan..SERTA KE BAHAGIAAN

Kamis, 25 Desember 2014

Aku Ingin Bertanya (Kau Ingin Menjawab?)

 Aku Ingin Bertanya (Kau Ingin Menjawab?) 

Aku ingin bertanya padamu kawan…
Bila malaikat maut telah datang menjelang tanpa persetujuan
Apakah aku tengah dihiasi iman atau keingkaran…?

Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila tubuhku telah kaku berselimut tanah dan ditinggalkan
Apakah aku melihat pemandangan kenikmatan atau kepedihan…?
Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku terbangun dari kuburku dan berjalan menuju pengadilan
Apakah aku diliputi cahaya atau keringat panas deras bercucuran…?
Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku diberikan kitab amalku yang tak satu pun terlupakan
Apakah aku menerima dari arah kanan atau dari belakang badan…?
Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku dipanggil menghadap-Nya dengan serangan dakwaan
Apakah aku bisa bersilat kata atau anggota tubuhku yang menerangkan…?
Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku diperlihatkan di hadapan manusia akan segala perbuatan
Apakah aku dapat berdiri tegak atau tersungkur memohon dihentikan…?

Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku disuruh untuk menaiki neraca amal seimbang tiada kecurangan
Apakah aku melihat neraca amal baikku berat atau ringan…?
Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila aku melintasi shirath yang amat panjang mendebarkan
Apakah aku mampu mencapai ujung atau terjatuh dengan jeritan…?
Terakhir, aku ingin bertanya padamu kawan…
Bila aku kembali ke kampung halaman untuk masa yang tak berkesudahan
Apakah aku menempati taman kesenangan atau api siksaan…?

Posted: Desember 25, 2014 in Tazkiyatun Nafs, Umum

Rabu, 24 Desember 2014


Makna Laa ilaaha ilallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] yang benar adalah tidak ada sesembahan yang benar dan berhak disembah kecuali Allah semata. Pada kalimat Laa ilaaha ilallah terdapat empat kata yaitu:
Kata Laa ( لآُ ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan yang benar kecuali Allah.

Kata ilah ( إِلَهَ ) berarti sesuatu yang disembah
Kata illa ( َ إِلاَّ ) berarti pengecualian
Kata Allah (الله ) berarti ilah/sesembahan yang benar.
Dengan demikian makna [ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar .[1]
Dalil tentang masalah ini adalah firman Allah Ta’ala :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ {62}

“Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj:62).

 https://abunamira.wordpress.com/website-website-bermanhaj-salaf/

Wahai orang berilmu

Wahai orang berilmu…

Seorang dari salafush shalih berwasiat kepada orang berilmu,
‘Wahai orang berilmu, amalkan ilmumu, berikan kelebihan hartamu, dan tahanlah kelebihan perkataanmu kecuali sedikit pembicaraan, akan bermanfaat bagimu di sisi Tuhanmu.
Wahai orang berilmu, sesuatu yang kamu ketahui tetapi tidak kamu amalkan adalah pemotong argumentasi dan alasanmu di sisi Tuhanmu ketika kamu menemui-Nya.
Wahai orang berilmu, taat kepada Allah yang diperintahkan kepadamu sebenarnya telah menyibukkanmu dari maksiat kepada Allah yang dilarang untukmu.
Wahai orang berilmu, janganlah kamu menjadi orang kuat yang meneropong perbuatan orang lain, namun kamu sendiri manusia lemah dalam mengerjakan (suatu amal) untuk dirimu sendiri.
Wahai orang berilmu, janganlah apa yang dimiliki orang lain, membuatmu lupa terhadap apa yang kamu miliki.

Wahai orang berilmu, ajaklah bicara para `ulama, bergaulah dengan mereka dan dengarkanlah perkataan mereka dan janganlah kamu menentangnya.
Wahai orang berilmu, agungkanlah ulama karena ilmu mereka dan janganlah kamu menghormati orang-orang bodoh karena kebodohan mereka, namun jangan menjauhi mereka, tetapi dekatilah dan ajarilah mereka.
Wahai orang berilmu, janganlah kamu membicarakan suatu hadits di suatu majelis sehingga kamu betul-betul memahaminya, dan janganlah menjawab pertanyaan orang hingga engkau tahu persis apa yang diucapkannya kepadamu.

Wahai orang berilmu, janganlah kamu tertipu oleh Allah dan jangan pula kamu tertipu oleh manusia. Tertipu oleh Allah maksudnya meninggalkan perintah-Nya, dan tertipu oleh manusia maksudnya mengikuti hawa nafsu mereka. Takutlah kepada Allah dalam semua hal yang Dia mengajakmu takut terhadap diri-Nya, dan hindarilah manusia karena fitnah mereka.
Wahai orang berilmu, cahaya siang tidaklah sempurna kecuali dengan matahari, begitu pula hikmah tidak sempurna kecuali dengan menaati Allah subhanallahu wa ta’ala.
Wahai orang berilmu, tanaman tidak baik kecuali dengan air dan tanah, begitu pula dengan iman tidak baik kecuali dengan ilmu dan amal.

Wahai orang berilmu, setiap musafir haruslah berbekal, dan ia dapatkan bekalnya apabila ia dibutuhkannya, begitu pula dengan setiap orang yang beramal, di akhirat akan ia dapatkan apa yang telah diperbuatnya di dunia apabila ia butuhkan amal perbuatannya.
Wahai orang berilmu, Apabila Allah subhanallahu wa ta’ala berkehendak mendorongmu dalam beribadah kepadaNya, ketahuilah bahwa Dia ingin menampakkan karamah-Nya terhadapmu, maka janganlah kamu mengalihkannya kepada selainNya, sehingga kamu tinggalkan kemuliaanNya dan malah kamu dapatkan kehinaan hidup.

Wahai orang berilmu, Jika kamu memindahkan batu atau besi, itu lebih ringan bagimu daripada berbicara kepada orang yang tidak menerima pembicaraanmu, perumpamaan orang yang berbicara kepada orang yang tidak menerima pembicaraannya adalah seperti orang yang memanggil orang mati dan meletakkan hidangan untuk penghuni kubur”.
(Sunan ad-Darimiy; dalam bab: Menghormati Ilmu; Lidwa Pusaka)

Jika suami tidak mampu memberi nafkah

Jika suami tidak mampu memberi nafkah

Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama [Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404]:

1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah). 

Demikian ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.

2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar. 

Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin. 

Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata:
“Al Hanafiyah (para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.
[Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata:
“Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.
[Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]

Selasa, 23 Desember 2014

Kaifiah Sholat Jamak Taqdim


Kaifiah Sholat Jamak Taqdim
Oleh: Ustadz Abdul Qodir -Hafizhohulloh-
Salah satu sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin pada hari ini adalah sholat jamak taqdim di saat safar.
Jamak taqdim (جَمْعُ التَّقْدِيْمِ) artinya dua sholat di-jamak (digabung) dalam sebuah waktu, namun waktunya di-taqdim (dimajukan), misalnya saat hendak safar waktu sholat Zhuhur telah masuk. Jadi, anda sebaiknya sholat Zhuhur dulu. Setelah itu anda bangkit lagi untuk melaksanakan sholat Ashar di waktu Zhuhur. Sunnahnya, dua sholat yang digabung dalam satu waktu itu di antarai oleh iqomat. Demikian pula sholat Maghrib dikerjakan di waktu Maghrib, lalu diiringi oleh sholat Isya’ yang dikerjakan juga di waktu Maghrib. Adapun sholat Shubuh, maka ia tak dijamak.[1]
Dari Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ فَيُصَلِّيهِمَا جَمِيعًا وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ فَصَلاَّهَا مَعَ الْمَغْرِبِ.

“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu dalam Perang Tabuk, jika beliau berangkat sebelum tergelincirnya matahari[2], maka beliau mengakhirkan Sholat Zhuhur sampai beliau menjamaknya pada waktu Ashar. Kemudian beliau pun melaksanakan keduanya sekaligus. Jika beliau berangkat setelah tergelincirnya matahari, maka beliau sholat Zhuhur dan Ashar sekaligus. Setelah itu berjalan (berangkat). Bila beliau berangkat sebelum Maghrib, maka beliau akhirkan Sholat Maghrib sampai beliau melakukannya bersama Isya’. Jika berangkat usai Maghrib, maka beliau menyegerakan (memajukan) Sholat Isya’, sehingga beliau melakukannya bersama Sholat Maghrib”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1220) dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (553). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (578)]



Ibrah dan Renungan

Di dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah dan faedah berharga bagi orang-orang yang ingin menerapkan sunnah ini dalam hidupnya. Diantaranya[3]:
Bolehnya menjamak (menggabung) antara dua sholat di dalam safar.
Sholat jamak, sebagaimana halnya ia boleh di-takhir (diundur), maka boleh pula di-taqdim. Inilah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- dalam Al-Umm (1/67). Demikian pula Al-Imam Ahmad -rahimahullah- dan Ishaq -rahimahullah- sebagaimana yang dinyatakan oleh At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2/441).

Boleh melakukan jamak di saat turun sebagaimana halnya boleh melakukan jamak di atas kendaraan bila perjalanan terus berlanjut. Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Boleh bagi musafir untuk melakukan jamak di saat singgah atau sedang melanjutkan perjalanan”. [Lihat Al-Umm (1/96)]
Agama kita adalah agama yang mudah. Bila dua sholat dilakukan tanpa jamak adalah berat, maka diberikan kemudahan untuk men-jamak-nya. Ini menunjukkan bahwa agama kita mudah dikerjakan, berbeda dengan sangkaan sebagian orang bahwa Islam itu susah!!
Para pembaca yang budiman, inilah kaifiah (tata cara) sholat jamak (baik taqdim, maupun ta’khir). Semoga anda dapat mengamalkannya dalam kehidupan anda sehingga segala amal ibadah anda mudah dan sesuai petunjuk dan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

[1] Bila anda muqim dan belum berangkat safar, maka jamak taqdim-nya dengan empat-empat rakaat untuk Zhuhur dan Ashar. Sholat Maghrib dan Isya’ adalah tiga dan empat rakaat.
Akan tetapi jika kalian dalam safar, maka jamak taqdim-nya dua-dua rakaat untuk sholat Zhuhur dan Ashar. Adapun Maghrib tetap tiga, lalu ditambah Isya’ sebanyak dua rakaat.
[2] Yakni, sebelum masuknya waktu Zhuhur.
[3] Faedah pertama sampai ketiga, kami nukilkan dari Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shohihah (1/312-313)

Bagaimana Seorang Anak Bisa Mirip Orang Tuanya ?

Jika kita baca ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya di bidang biologi dan kesehatan, akan didapatkan beberapa teori yang mencoba menjawab permasalahan di atas. Namun, tahukah Anda bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas ? Saya ajak Anda – para Pembaca budiman – untuk memperhatikan beberapa hadits berikut :


1.        Hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu.
Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang permasalahan anak. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
“ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر. فإذا اجتمعا، فعلا مني الرجل مني المرأة، أَذْكَرَا بإذن الله. وإذا علا مني المرأة مني الرجل، آنثا بإذن الله”
“Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah

[HR. Muslim no. 315, Al-Baihaqiy 1/169, Ibnu Khuzaimah no. 232, dan yang lainnya].



2.        Hadits Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.

عن أنس : أن عبد الله بن سلام أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم مقدمه المدينة فقال يا رسول الله إني سائلك عن ثلاث خصال لا يعلمهن إلا نبي قال سل قال ما أول أشرط الساعة وما أول ما يأكل منه أهل الجنة ومن أين يشبه الولد أباه وأمه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبرني بهن جبريل عليه السلام آنفا قال …… وأما شبه الولد أباه وأمه فإذا سبق ماء الرجل ماء المرأة نزع إليه الولد وإذا سبق ماء المرأة ماء الرجل نزع إليها قال أشهد أن لا اله إلا الله وأنك رسول الله

Dari Anas : Bahwasannya ‘Abdullah bin Salaam mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tiba di Madinah. Ia pun bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan bertanya kepada engkau atas tiga permasalahan yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bertanyalah”. ‘Abdullah bin Salaam melanjutkan : “Apakah tanda hari kiamat untuk pertama kali ? Makanan apakah yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga ? Dan dari mana datangnya sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Baru saja Jibril ‘alaihis-salaam mengkhabarkan kepadaku tentang jawaban ketiga hal tersebut”. Beliau melanjutkan : “………….Adapun sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya : Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, maka anak (yang lahir) akan mirip ayahnya. Namun apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, maka anak (yang lahir) akan mirip ibunya”. ‘Abdullah bin Salaam kemudian berkata : “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan (aku bersaksi) bahwa engkau adalah utusan Allah”
 [HR. Al-Bukhari no. 3329 , Ahmad 3/108, ‘Abdun bin Humaid no. 1389, Ibnu Abi Syaibah 13/125, dan yang lainnya].

3.        Hadits Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhaa.

أن أم سليم حدثت؛ أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل” فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك. قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم “نعم. فمن أين يكون الشبه. إن ماء الرجل غليظ أبيض. وماء المرأة رقيق أصفر. فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه”.
Bahwasannya Ummu Sulaim pernah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami oleh laki-laki. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila ia melihat yang demikian, hendaklah ia mandi”. Ummu Sulaim berkata (kepada perawi) : “Sebenarnya aku malu menanyakan hal tersebut”. Ia kembali bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap dirinya” [HR. Muslim no. 311].

4.        Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.
عن عائشة؛ أن امرأة قالت لرسول الله صلى الله عليه وسلم: هل تغتسل المرأة إذا احتلمت وأبصرت الماء؟ فقال “نعم” فقالت لها عائشة: تربت يداك. وألت. قالت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “دعيها. وهل يكون الشبه إلا من قبل ذلك. إذا علا ماؤها ماء الرجل أشبه الولد أخواله. وإذا علا ماء الرجل ماءها أشبه أعمامه”.

 Dari ‘Aisyah : Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah seorang wanita harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Maka ‘Aisyah berkata kepadanya : “Taribat yadak ! (sebuah kalimat pengingkaran atas pertanyaan wanita tadi –Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia. Dari mana datangnya penyerupaan bila tidak berasal dari yang demikian ? Apabila air mani wanita mengalahkan/mengungguli air mani laki-laki, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ibunya. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ayahnya” [HR. Muslim no. 314].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
والمراد بالعلو هنا السبق، لأن كل من سبق فقد علا شأنه فهو علو معنوي، وأما ما وقع عند مسلم من حديث ثوبان رفعه: “ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر فإذا اجتمعا فعلا مني الرجل مني المرأة أذكرا بإذن الله، وإذا علا مني المرأة مني الرجل أنثا بإذن الله” فهو مشكل من جهة أنه يلزم منه اقتران الشبه للأعمام إذا علا ماء الرجل ويكون ذكرا لا أنثى وعكسه، والمشاهد خلاف ذلك لأنه قد يكون ذكرا ويشبه أخواله لا أعمامه وعكسه، قال القرطبي: يتعين تأويل حديث ثوبان بأن المراد بالعلو السبق. قلت: والذي يظهر ما قدمته وهو تأويل العلو في حديث عائشة وأما حديث ثوبان فيبقى العلو فيه على ظاهره فيكون السبق علامة التذكير والتأنيث والعلو علامة الشبه فيرتفع الإشكال، وكأن المراد بالعلو الذي يكون سبب الشبه بحسب الكثرة بحيث يصير الآخر مغمورا فيه فبذلك يحصل الشبه، وينقسم ذلك ستة أقسام: الأول أن يسبق ماء الرجل ويكون أكثر فيحصل له الذكورة والشبه، والثاني عكسه، والثالث أن يسبق ماء الرجل ويكون ماء المرأة أكثر فتحصل الذكورة والشبه للمرأة، والرابع عكسه، والخامس أن يسبق ماء الرجل ويستويان فيذكر ولا يختص بشبه، والسادس عكسه

“Yang dimaksud dengan al-‘ulluw adalah as-sabq (mendahului), karena setiap yang mendahului berarti ia telah mengungguli/mengalahkan dalam arti maknawi. Adapun hadits Tsauban yang diriwayatkan oleh Muslim : ‘Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah’ ; maka dalam hadits tersebut terdapat hal yang sulit dipahami (musykil). Karena, apabila air mani laki-laki yang mendahului, maka hal itu berkonsekuensi anak yang terlahir akan menyerupai keluarga suami dan berjenis kelamin laki-laki. Demikian pula jika sebaliknya. Sementara kenyataan yang ada, kadangkala anak laki-laki mirip dengan keluarga dari pihak ibu, bukan dari pihak keluarga ayah. Demikian juga sebaliknya. Al-Qurthubi berkata : “Dengan demikian jelaslah bahwa maksud dari kata al-‘ulluw dalam hadits Tsauban adalah as-sabq (mendahului)”. Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Menurutku, demikianlah makna kata al-‘ulluw yang tercantum dalam hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Tsaubaan, kata al-‘ulluw tetap ditafsirkan sesuai dengan dhahirnya. Dengan demikian, as-sabq (mendahului) merupakan penentu jenis kelamin laki-laki atau wanita, sedangkan al-‘ulluw (mengalahkan/dominansi) merupakan tanda penyerupaan/kemiripan. Berarti tidak ada lagi kesulitan dalam memahami makna hadits. Seakan-akan maksud al-‘ulluw yang merupakan sebab penyerupaan/kemiripan karena banyaknya air mani yang keluar sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini, maka akan tercapailah penyerupaan/kemiripan. Perkara ini ada enam keadaan :

1.        Apabia air mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului air mani wanita, maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya.

2.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu : apabila air mani wanita lebih banyak dan keluar mendahului air mani laki-laki, maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya).

3.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, namun air mani wanita lebih banyak; maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya.
4.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, namun air mani laki-laki lebih banyak; maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya).

5.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah laki-laki tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya.

6.        Sebaliknya (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah wanita tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya).

[selesai – Fathul-Baariy, 7/273].
Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

(Source: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/bagaimana-seorang-anak-bisa-mirip-orang.html)
Share and Enjoy:

Minggu, 21 Desember 2014

Majelis Gelak Tawa




MAJELIS GELAK TAWA




Tidak bisa dipungkiri, saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rilek dan santai untuk mengendorkan urat syaraf, mengusir gelisah, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu, badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat. Dan itu sah-sah saja dilakukan selama tidak berlebihan dan mengandung hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama kita, Islam. Karena sebagaimana diceritakan dalam banyak riwayat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda. Terkadang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda bersama para sahabat yang sudah dewasa, terkadang dengan anak kecil, dan juga dengan keluarganya. Ini beliau lakukan sekali waktu saja, tidak setiap saat dengan tetap memperhatikan ajaran-ajaran agama. Meski bercanda, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berdusta dalam candanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّي لَأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا

Sesungguhnya aku juga bercanda, akan tetapi aku tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar saja.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang lain tertawa, celakalah ia, celakalah ia.

Ini menunjukkan, larangan melanggar rambu-rambu syariat meskipun saat bergurau, misalnya dusta, membeberkan aib orang lain, dan menjadikannya sebagai bahan tertawaan, lelaki menyerupai wanita, atau sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum lelaki yang meniru wanita dan kaum wanita yang meniru kaum elaki". [HR Imam al-Bukhari].

Dalam bercanda juga tidak boleh melecehkan dan menghina ajaran agama atau orang yang konsisten dengan ajaran agama, seperti melecehkan orang yang memelihara lihyah (jenggot), syariat poligami maupun yang mempraktekkannya, dan lain sebagainya. Karena yang seperti ini, dikhawatirkan terkena firman Allah Azza wa Jalla ,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ﴿٦٥﴾ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66].

Demikian dan masih ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan saat bercanda, sehingga tidak terjebak dalam perbuatan dosa. Namun sangat disayangkan, banyak orang yang kurang peduli, bahkan sama sekali tidak peduli dengan hal ini. Sehingga kita saksikan, berbagai pelanggaran biasa dilakukan saat bercanda atau menghibur orang. Mulai dari ucapan bohong, membuka aib, melecehkan agama, lelaki menyerupai gaya perempuan atau sebaliknya, mengucapkan kalimat-kalimat yang diharamkan agama seperti ucapan kufur –iyadzan billah- atau bercanda dengan hal-hal yang tidak pantas dijadikan gurauan.

Awalnya, banyak orang yang merasa risih mendengarnya, tapi karena sering, akhirnya seakan-akan menjadi hal yang biasa –semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dan seluruh kaum muslimin dari perbuatan buruk ini-. Ditambah lagi dengan muncul kesan, bahwa bercanda itu seolah suatu keharusan dalam banyak hal. Sehingga kita saksikan sebagian majlis taklim atau ceramah-ceramah didesain dan dipadukan dengan humor. Akhirnya sebagian orang terkondisikan dengan itu. Akibatnya kajian yang ‘gersang’ dari guyonan kurang mendapat pemggemar

Islam memang menganjurkan untuk menghibur orang yang sedang susah, tetapi bukan secara bebas dengan segala cara. Ada koridor yang perlu diperhatikan. Begitu juga dengan orang yang sedang susah, sah-sah saja mencari atau melakukan sesuatu yang bisa menghibur diri, tanpa dengan melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya.

Renungkanlah, menonton lawak atau canda tanpa batas, sesungguhnya lebih banyak mengandung maksiat dan tidak akan bisa memberikan ketenangan hakiki, melainkan kesenangan semu. Kalaupun canda itu tidak mengandung unsur maksiat dan dosa, tetapi ingatlah pesan Rasulullan Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah kalian sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua.

ALIRAN SUFI DIINGKARI IMAM SYAFI'I RAHIMAHULLAH



Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc



Nama besar Imam Syâf’i rahimahullah sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Ketokohan beliau sudah tidak diperselisihkan umat Islam. Hanya saja, umat sepertinya lebih mengenal beliau sebagai pakar hukum Islam dan peletak dasar Ilmu Ushul Fiqih, sementara aspek kehidupannya yang lain, - bahkan yang lebih penting – belum banyak terekspos di tengah khalayak.

Sisi aqidah Imam Syâfi'i rahimahullah– yang berpijak pada aqidah Salafus Shaleh, aqidah para Sahabat Radhiyallahu anhum yang belajar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung - belum banyak diulas, termasuk juga dalam hal ini, pemaparan celaan dan bantahan beliau rahimahullah terhadap beberapa aliran –menyimpang- yang menunjukkan jauhnya aliran tersebut dari jalan yang lurus. Sebenarnya komentar miring beliau rahimahullah terhadap pemikiran dan golongan itu jelas akan mengguratkan makna yang lebih mendalam dan membekaskan pelajaran penting bagi para pengikut madzhab. Dengan demikian, umat akan menjauhi aliran-aliran yang telah diingkari imam mereka. Dikhawatirkan, jangan-jangan ada sebagian orang yang mengikuti madzhab salah satu dari mereka justru berideologi atau membela pemikiran aliran-aliran yang diingkari dan dibantah Imam Syâfi'i rahimahullah. Dan kenyataannya, ada ungkapan berbunyi, “Aku bermadzhab Syâfi' i dalam fiqih, asy’ari dalam aqidah, sufi dalam akhlak”. (?!).

Berikut ini beberapa bantahan, komentar miring dan bantahan Imam Syâfi’i t terhadap beberapa aliran yang ada di masa itu.

IMAM SYAFI’I RAHIMAHULLAH MENCELA SUFI
Aliran Sufi, penyebarannya begitu meluas di banyak negeri Muslim. Tidak diketahui secara pasti siapa yang mulai menggagasnya pertama kali. Yang jelas, dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : ““Nama Sufi belum ada pada tiga kurun pertama (umat Islam). Istilah itu baru muncul setelah itu”. (Majmû Fatâwâ 11/5).

Awalnya, penampilan zuhud dominan pada para pengikut Sufi. Pembersihan jiwa dan hati serta menjauhkan diri dari dunia menjadi tujuan mereka. Namun dalam perjalanannya, muncul penyelewengan dan penyimpangan dalam aqidah dan aspek lainnya, seperti diyakininya aqidah wihdatul wujûd, bermunculannya tarekat-tarekat Sufi dengan ragam wirid dan tata cara ibadahnya melekat pada aliran Sufi. Aliran ini mulai menunjukkan hakekatnya pada abad ketiga hijriyah. Dan yang ‘menarik’, tokoh-tokoh pembesar Sufi pada abad ketiga dan keempat semuanya berasal dari Persia, tidak ada satu pun yang berasal dari suku Arab.

Sikap umat Islam terhadap Sufi dan ajarannya terbagi menjadi dua pihak, mendukung Tasawuf dan mengamalkan ajarannya. Yang kedua, menolak ajaran tersebut dan menjauhinya serta memperingatkan umat darinya. Bagaimana sikap seorang Muslim terhadap ajaran Tasawuf ini?.

Timbangan seorang Muslim untuk menganalisa dan menilai sesuatu adalam Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila dicermati, fenomena yang telah disebut di muka, keyakinan aqidah wihdatul wujud yang diyakini pembesar Sufi seperti Ibnu Arabi, banyaknya tarekat yang masing-masing ternyata memiliki ajaran-ajaran khusus yang berbeda dari tarekat lainnya sesuai dengan apa yang diajarkan Syaikh tarekat, sudah cukup menjadi bukti bahwa golongan ini tidak berada di atas jalan yang lurus. Apalagi bila ditambah dengan kebiasaan bertawasul kepada orang mati, dan mengadakan acara dan ibadah yang sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Nabi umat Islam, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Maka tak mengherankan bila seorang Imam Syâfi'i rahimahullah mencela dan membantah aliran ini. Pandangan Imam Syâfi'i rahimahullah dan celaan beliau terhadap aliran ini dan para pengikutnya telah tercatat rapi dalam kitab-kitab yang menulis biografi beliau.

Yang menarik, Imam Syâfi'i rahimahullah pernah melontarkan pernyataan ketika beliau memasuki negeri Mesir yang berbunyi :

خَلَفْتُ بِالْعِرَاقِ شَيْئًا أَحْدَثَهُ الزَّناَدِقَةُ يُسَمُّوْنَـهُ التَّـغْبِيْرَ يُشْغِلُوْنَ بِهِ النَّاسَ عَنِ الْقُرْآنِ

“Aku tinggalkan di (negeri) Irak sesuatu yang diada-adakan oleh kaum zindiq yang mereka sebut dengan taghbiir. Dengan itu, mereka melalaikan orang-orang dari al-Qur`ân” [Manâqibu asy-Syâfi’i , karya al-Baihaqi 1/173].

Atau dalam riwayat lain, beliau mengatakan:

تَرَكْتُ بَغْدَادَ وَقَدْ أَحْدَثَ الزَّناَدِقَةُ فِيْهَا شَيْئًا يُسَمُّوْنَـهُ السَّمَاعَ

“Aku tinggalkan (kota) Baghdad, sedang orang-orang zindiq (waktu itu) telah mengadakan sesuatu yang baru (dalam agama) yang mereka sebut dengan istilah samâ’ ”

Makna zindiq adalah orang yang sudah rusak agamanya. Dan orang-orang zindiq yang beliau maksud adalah kalangan mutashawwifah (para penganut Tasawuf). Sementara yang beliau maksud dengan taghbîr atau samâ` ialah nyanyian dan senandung yang mereka dendangkan.

Beliau memasuki Mesir pada tahun 199H. Pernyataan beliau itu menunjukkan bahwa samaa’ merupakan perkara baru dalam Islam yang tidak dikenal sebelumnya oleh umat Islam.

Imam Syâfi'i rahimahullah mengingkari mereka dengan menyatakan:

أَسَاسُ التَّصَوَّفِ الْكَسَلُ

"Asas tasawuf adalah kemalasan" [al-Hilyah karya Abu Nu’aim al-Ashbahâni 9/136-137].

Beliau juga mencela mereka dengan berkata:

لاَ يَكُوْنُ الصُّوْفِيُّ صُوْفِياًّ حَـتَّى يَكُوْنُ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ : كَسُولٌ أَكُوْلٌ شَؤُوْمٌ كثَيْرُ الْفُضُولِ

Seseorang tidak akan menjadi Sufi (tulen) kecuali setelah empat perkara ada padanya: sangat malas, banyak makan, sangat pesimis, dan banyak melakukan hal yang tidak perlu”. (Manâqibu asy-Syâfi’i karya al-Baihaqi 2/207).

Imam al-Baihaqi rahimahullah dengan sanadnya meriwayatkan dari Yûnus bin 'Abdil A’lâ rahimahullah , ia berkata, “Aku mendengar (Imam) Syâfi'i rahimahullah menyatakan:

لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَـصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَـهُ أَحْمَقَ

“Kalau ada orang menjadi Sufi di pagi hari, maka tidaklah datang waktu Zhuhur kecuali orang tersebut akan engkau jumpai menjadi manusia yang dungu”. [Manâqib Syâfi'i karya Imam al-Baihaqi 2/207]

Ini mengisyaratkan kepada hasil cuci otak ala Sufi. Seorang penganut Sufi (seorang murid) wajib mengagungkan Syaikhnya (dan orang-orang yang dianggap sudah mencapai derajat ‘wali’) secara berlebihan. Ajaran dan doktrin apapun harus diterima oleh murid dengan secara penuh, meski bertentangan dengan akal sehat dan ajaran syariat. Ketaatan seorang ‘murid’ kepada gurunya adalah bak jenazah yang sedang dimandikan oleh orang.

Simaklah cerita yang yang cukup pantas disebut dungu orang yang mempercayainya. Disebutkan dalam Karâmâtul Auliyâ (2/367), seorang ‘wali’ mampu mengkhatamkan al-Qur`an 360 ribu kali dalam sehari semalam (24 jam)!?. Jika akal masih sehat belum teracuni oleh pengagungan yang melampaui batas terhadap orang yang disebut ‘wali’ pastilah akan menolak fakta ini tertulis dalam kitab karomah para wali. Jika sehari semalam adalah 24 jam yang berarti 1440 detik. Maka ‘wali’ yang bersangkutan mampu mengkhatamkan 250 kali dalam semenit. !? Ini mustahil.

Beberapa pernyataan Imam Syâfi'i ini sudah cukup memadai untuk menggambarkan dan memberikan penilaian terhadap aliran Sufi dan ajaran tasawuf. Ia bukanlah ajaran yang baik bagi umat Islam. Apalagi muncul dari seorang peletak dari Ilmu Ushul Fiqih yang mengetahui syariat Islam secara mendalam.

Semoga Allâh Azza wa Jalla mengembalikan umat Islam kepada pengagungan terhadap petunjuk Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallâhu a'lam.

Al-Ghâlib Dan An-Nashîr (Allâh Maha Menang Dan Maha Penolong)

 

AL-GHALIB DAN AN-NASHIR (ALLAH MAHA MENANG DAN MAHA PENOLONG)

Oleh
Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad


Diantara nama-nama Allâh Azza wa Jalla adalah al-Ghâlib dan an-Nashîr. Nama al-Ghâlib disebutkan dalam al-Qur'an pada satu tempat saja yaitu dalam firman-Nya :

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

dan Allâh berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya [Yusuf/12:21]

Sedangkan nama an-Nashîr disebutkan pada empat tempat :

وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ ۚ نِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allâh Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong [al-Anfâl/8:40]

Juga dalam surat an-Nisâ'/4 ayat ke-45; Surat al-Hajj/22 ayat ke-78 dan surat al-Furqân/25 ayat ke-31.

MAKNA AL-GHALIB DAN AN-NASHR
al-Ghâlib artinya yang bisa melakukan apa saja yang dikehendaki, tidak bisa dikalahkan oleh apapun, tidak ada yang bisa menolak hukum-Nya, tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan untuk menolak ketetapan-Nya juga tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk menghalangi apa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan berjalan.

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, "Wajib bagi setiap orang mukallaf mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla itu al-Ghâlib (Maha Menang, Tidak akan terkalahkan) secara mutlak. Orang yang berpegang teguh dengan-Nya, maka dia juga akan menang, meskipun semua penduduk penduduk bumi melawannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي

Allâh Telah menetapkan: "Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang". [al-Mujâdilah/58:21]

Dan orang yang berpaling dari Allâh Azza wa Jalla lalu berpegang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , maka dia akan kalah."[1]

An-Nashîr maknanya adalah yang menolong para hamba-Nya, yang bisa memberikan jaminan bahwa Dia akan mendukung dan membela para wali-Nya. Semua pertolongan itu hanya dari Allâh Azza wa Jalla semata. Pertolongan (kemenangan) itu tidak akan terealisasi kecuali dengan karunia dari Allâh Azza wa Jalla . Jadi orang yang akan menang adalah orang-orang yang ditolong oleh Allâh Azza wa Jalla karena tidak ada penolong dan penjaga bagi para hamba kecuali Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Ali Imrân/3:126]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allâh menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allâh membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allâh sesudah itu ? Karena itu hendaklah kepada Allâh saja orang-orang Mukmin bertawakkal. [Ali Imrân/3:160]

أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ

Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain Allâh yang Maha Pemurah? orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu. [al-Mulk/67:20]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

dan tiada bagimu selain Allâh seorang pelindung maupun seorang penolong. [al-Baqarah/2:107]

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [ar-Rûm/30:47]

PERTOLONGANNHANYA DARI ALLAH AZZA WA JALLA
Dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan karunia-Nya kepada para nabi-Nya berupa kemenangan dan dukungan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). [al-Ghâfir/40:51]

Juga dalam firman-Nya :

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ

Sesungguhnya Allâh telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak [at-Taubah/9:25]

Juga dalam firman-Nya :

وَلَقَدْ مَنَنَّا عَلَىٰ مُوسَىٰ وَهَارُونَ﴿١١٤﴾وَنَجَّيْنَاهُمَا وَقَوْمَهُمَا مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ﴿١١٥﴾وَنَصَرْنَاهُمْ فَكَانُوا هُمُ الْغَالِبِينَ

Dan Sesungguhnya Kami telah melimpahkan nikmat atas Musa dan Harun. Dan Kami selamatkan keduanya dan kaumnya dari bencana yang besar. Dan Kami tolong mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang. [as-shaffât/37:114-116]

Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa pertolongan itu hanya diminta kepada-Nya dan hanya bisa diperoleh dengan bersandar kepada-Nya. Dalam do'a nabi Nuh Alaihissallam.

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ

Nabi Nuh berdoa, "Ya Rabbku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku." [al-Mukminûn/ 23:26]

Dan dalam do'a Nabi Luth Alaihissallam :

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ

Nabi Luth berdo'a, "Ya Rabbku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." [al-Ankabut/29:30]

Dan dalam do'a nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2:286]

Dalam Sunan Abu Daud rahimahullah , Tirmidzi dan yang lainnya diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan peperangan, maka beliau berdo'a :

اللَّهُمَّ أَنْتَ عَضُدِي وَأَنْتَ نَصِيرِي بِكَ أَجُوْلُ وَبِكَ أَصُوْلُ وَبِكَ أُقَاتِلُ

Wahai Allâh , Engkau adalah penguatku dan Penolongku, Dengan (nama)-Mu aku menyerang dan membela.

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa kaum kafir itu tidak memiliki penolong. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَأُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Adapun orang-orang yang kafir, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong. [Ali Imrân/3:56]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ ۖ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allâh ? dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun. [ar-Rûm/30:29]

Juga firman-Nya :

وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ أَهْلَكْنَاهُمْ فَلَا نَاصِرَ لَهُمْ

Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. [Muhammad/47:13]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman buat kaum Mukminin :

وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا﴿٢٢﴾سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu Pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong.

Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu. [al-Fath/48:22-23]

Firman Allâh Azza wa Jalla ini ditujukan kepada kaum Muslimin yang sudah merealisasikan tuntutan iman mereka, baik yang zhahir maupun yang bathin. Orang-orang yang seperti ini akan mendapatkan pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla dan akan mendapatkan akhir yang baik. Oleh karena itu, selama kaum Muslimin tidak melawan nafsu mereka dalam rangka merealisasikan tuntutan keimanan mereka dan faktor-faktor yang bisa mendatangkan kemenangan, maka kemenangan itu tidak akan pernah menghampiri mereka. Bahkan sebalinya, mereka akan senantiasa berada dalam penjajahan dan bayang-bayang kekuasaan musuh-musuh mereka akibat dari kesalahan dan dosa-dosa mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Dimanapun kaum kafir mendapatkan kemenangan, maka itu disebabkan oleh dosa kaum Muslimin yang mengisyaratkan iman mereka kurang. Jika mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allâh akan menolong mereka, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. [Ali Imrân/3:139]

Juga berfirman :

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". [Ali Imrân/3:165][2]

Maka untuk mendapatkan kemenangan dalam menghadapi para musuh yang terlihat, para hamba terlebih dahulu harus memerangi dan mengalahkan musuh-musuh yang tidak terlihat berupa nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan buruk dan syaitan. Selama peperangan melawan musuh-musuh yang tidak terlihat ini belum dimenangkan, maka kemenangan dalam melawan musuh yang terlihat itu akan tetap menjadi angan-angan belaka.

Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [al-Ankabût/29:69].

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Allâh Azza wa Jalla mengaitkan hidayah dengan jihad, jadi orang yang paling sempurna hidayahnya adalah orang yang paling keras jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah jihad (melawan) nafsu, jihad (melawan) hawa, jihad (melawan) syaitan dan jihad (melawan) dunia. Barangsiapa berjihad (melawan) empat perkara ini karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla pasti menunjukkan kepadanya jalan-jalan untuk meraih ridha-Nya yang bisa menghantarkannya ke surga-Nya. Dan orang yang meninggalkan jihad, maka dia kehilangan hidayah seukuran jihad yang ditinggalkannya. … dan tidak mungkin berjihad melawan musuh yang zhahir kecuali oleh orang-orang yang sudah berjihad melawan musuh-musuh secara bathin. Orang yang mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh (yang bersifat abstrak) ini, maka dia akan mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuhnya. Barangsiapa terkalahkan oleh musuh-musuh (yang empat ini), maka dia akan dikalahkan oleh musuhnya yang zhahir."[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, "Jika keimanan (kaum Muslimin) itu lemah, maka para musuh mereka akan mendapatkan peluang seukuran dengan kurangnya iman mereka. Jadi kaum Muslimin membuka celah jalan bagi para musuh mereka dengan sebab perbuatan taat yang mereka tinggalkan. Seorang Mukmin itu perkasa, tinggi, ditolong, tercukupi, dibela dimanapun mereka berada, meskipun semua penduduk dunia menyerangnya, jika dia merealisasikan hakikat dan kewajiban iman, baik secara zhahir dan bathin. Allâh Azza wa Jalla berfirman buat kaum Mukminin :

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ

Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allâh pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. [Muhammad/47:35]

Jaminan dari Allâh Azza wa Jalla hanya akan terwujud dengan sebab keimanan dan amal perbuatan kaum Muslimin yang itu merupakan salah satu dari tentara-tentara Allâh yang dipergunakan untuk melindungi kaum Muslimin."[4]

Demikian pembahasan singkat tentang al-Ghâlib dan an-Nashir, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memperbaiki keadaan kaum Muslimin; agar melindungi mereka dari kejahatan para musuh mereka; agar menjaga keamanan dan keimanan kaum Muslimin; agar menahan kejahatan orang-orang kafir, sesungguhnya Allâh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). Kita juga memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan agar menolong kaum Muslimin dalam mengahadapi orang-orang kafir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla pasti menjaga yang bersandar kepada-Nya, mencukupi orang yang berpergang teguh dengan-Nya dan sesungguhnya Allâh adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong

(Diterjemahkan dari Fiqhul Asma'il Husna, Syaikh Abdurrazaq, hlm. 242-244)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Asna Fi Syarh Asmâ'illah al-Husna, 1/219
[2]. al-Jawâbus Shahîh, 6/450
[3]. al-Fawâ'id, hlm. 109
[4]. Ighâtsatul Lahfân, 2/913-914
 http://almanhaj.or.id/content/3873/slash/0/al-ghlib-dan-an-nashr-allh-maha-menang-dan-maha-penolong/

Sabtu, 20 Desember 2014

KIAT SUKSES DENGAN ORANG YANG SEMANGAT TANPA BATAS




Teman-teman semua, di manapun berada, salam hormat sepenuh hati dari saya
Saya mengajak Anda bergabung dalam komunitas SEMANGAT SETIAP WAKTU
Seperti yang sudah diketahui orang hebat, bahwa semangat lah yang mengantarkan mereka keimpian/tujuan/keinginan mereka dengan FUN, asik dan menyenangkan.....
Semua orang tahu, dengan semangat pekerjaan seberat apapun menjadi ringan, dan hasilnya juga baik
Semangat juga seperti bahan bakar kendaraan, jangan sampai pernah habis!

Lalu tidak ada yang bisa menggantikan keUletan, bahkan kecerdasan, atau apapun, bukan orang cerdas yang sukses, tapi orang yang ulet
Nah, saya mengajak anda semua untuk menjadi komunitas Semangat dan Ulet, karena semakin banyak orang semangat dan ulet, energi ini akan menyala-nyala di dalam diri kita sehingga kita selalu semangat wujudkan setiap keinginan kita......

Jika kau setuju bergabung dengan komunitas Semangat dan Ulet ini, silahkan katakan "Aku Semangat Ulet" atau cukup ASU, lalu bagikan kepada sebanyak mungkin teman-teman Anda agar semakin banyak yang bergabung semakin penuh semangat dunia ini, dan semakin banyak orang ulet dilahirkan, untuk menjalani kehidupan di dunia menjadi menyenangkan, sukses, bahagia dan kaya raya......
Dan selama 7 hari (mulai Senin 22 Desember 2014) saya akan bagikan tips2 hidup produktif, cara menguasai emosi, cara mewujudkan impian dengan kekuatan pikiran, dll
Share ke sebanyak mungkin teman fb anda, dan mari bersama dalam energi semangat dan keuletan yang luar biasa, demi masa depan yang menawan dan penuh keagungan...... Cara membuat semangat kita terus menyala salah satu nya adalah membuat orang lain ikut semangat

Bagaimana Seorang Anak Bisa Mirip Orang Tuanya ?

Bagaimana Seorang Anak Bisa Mirip Orang Tuanya ?

Jika kita baca ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya di bidang biologi dan kesehatan, akan didapatkan beberapa teori yang mencoba menjawab permasalahan di atas. Namun, tahukah Anda bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas ? Saya ajak Anda – para Pembaca budiman – untuk memperhatikan beberapa hadits berikut :

1.        Hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu.
Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang permasalahan anak. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

“ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر. فإذا اجتمعا، فعلا مني الرجل مني المرأة، أَذْكَرَا بإذن الله. وإذا علا مني المرأة مني الرجل، آنثا بإذن الله”
“Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah

 [HR. Muslim no. 315, Al-Baihaqiy 1/169, Ibnu Khuzaimah no. 232, dan yang lainnya].

2.        Hadits Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.

عن أنس : أن عبد الله بن سلام أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم مقدمه المدينة فقال يا رسول الله إني سائلك عن ثلاث خصال لا يعلمهن إلا نبي قال سل قال ما أول أشرط الساعة وما أول ما يأكل منه أهل الجنة ومن أين يشبه الولد أباه وأمه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبرني بهن جبريل عليه السلام آنفا قال …… وأما شبه الولد أباه وأمه فإذا سبق ماء الرجل ماء المرأة نزع إليه الولد وإذا سبق ماء المرأة ماء الرجل نزع إليها قال أشهد أن لا اله إلا الله وأنك رسول الله

Dari Anas : Bahwasannya ‘Abdullah bin Salaam mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tiba di Madinah. Ia pun bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan bertanya kepada engkau atas tiga permasalahan yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bertanyalah”. ‘Abdullah bin Salaam melanjutkan
“Apakah tanda hari kiamat untuk pertama kali ? Makanan apakah yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga ?

Dan dari mana datangnya sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Baru saja Jibril ‘alaihis-salaam mengkhabarkan kepadaku tentang jawaban ketiga hal tersebut”. Beliau melanjutkan : “………….Adapun sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya : Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, maka anak (yang lahir) akan mirip ayahnya. Namun apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, maka anak (yang lahir) akan mirip ibunya”. ‘Abdullah bin Salaam kemudian berkata : “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan (aku bersaksi) bahwa engkau adalah utusan Allah” [HR. Al-Bukhari no. 3329 , Ahmad 3/108, ‘Abdun bin Humaid no. 1389, Ibnu Abi Syaibah 13/125, dan yang lainnya].
3.        Hadits Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhaa.

أن أم سليم حدثت؛ أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل” فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك. قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم “نعم. فمن أين يكون الشبه. إن ماء الرجل غليظ أبيض. وماء المرأة رقيق أصفر. فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه”.
Bahwasannya Ummu Sulaim pernah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami oleh laki-laki. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila ia melihat yang demikian, hendaklah ia mandi”. Ummu Sulaim berkata (kepada perawi) : “Sebenarnya aku malu menanyakan hal tersebut”. Ia kembali bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap dirinya” [HR. Muslim no. 311].

4.        Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.
عن عائشة؛ أن امرأة قالت لرسول الله صلى الله عليه وسلم: هل تغتسل المرأة إذا احتلمت وأبصرت الماء؟ فقال “نعم” فقالت لها عائشة: تربت يداك. وألت. قالت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “دعيها. وهل يكون الشبه إلا من قبل ذلك. إذا علا ماؤها ماء الرجل أشبه الولد أخواله. وإذا علا ماء الرجل ماءها أشبه أعمامه”.

 Dari ‘Aisyah : Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah seorang wanita harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Maka ‘Aisyah berkata kepadanya : “Taribat yadak ! (sebuah kalimat pengingkaran atas pertanyaan wanita tadi –Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia. Dari mana datangnya penyerupaan bila tidak berasal dari yang demikian ? Apabila air mani wanita mengalahkan/mengungguli air mani laki-laki, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ibunya. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ayahnya” [HR. Muslim no. 314].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

والمراد بالعلو هنا السبق، لأن كل من سبق فقد علا شأنه فهو علو معنوي، وأما ما وقع عند مسلم من حديث ثوبان رفعه: “ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر فإذا اجتمعا فعلا مني الرجل مني المرأة أذكرا بإذن الله، وإذا علا مني المرأة مني الرجل أنثا بإذن الله” فهو مشكل من جهة أنه يلزم منه اقتران الشبه للأعمام إذا علا ماء الرجل ويكون ذكرا لا أنثى وعكسه، والمشاهد خلاف ذلك لأنه قد يكون ذكرا ويشبه أخواله لا أعمامه وعكسه، قال القرطبي: يتعين تأويل حديث ثوبان بأن المراد بالعلو السبق. قلت: والذي يظهر ما قدمته وهو تأويل العلو في حديث عائشة وأما حديث ثوبان فيبقى العلو فيه على ظاهره فيكون السبق علامة التذكير والتأنيث والعلو علامة الشبه فيرتفع الإشكال، وكأن المراد بالعلو الذي يكون سبب الشبه بحسب الكثرة بحيث يصير الآخر مغمورا فيه فبذلك يحصل الشبه، وينقسم ذلك ستة أقسام: الأول أن يسبق ماء الرجل ويكون أكثر فيحصل له الذكورة والشبه، والثاني عكسه، والثالث أن يسبق ماء الرجل ويكون ماء المرأة أكثر فتحصل الذكورة والشبه للمرأة، والرابع عكسه، والخامس أن يسبق ماء الرجل ويستويان فيذكر ولا يختص بشبه، والسادس عكسه

“Yang dimaksud dengan al-‘ulluw adalah as-sabq (mendahului), karena setiap yang mendahului berarti ia telah mengungguli/mengalahkan dalam arti maknawi. Adapun hadits Tsauban yang diriwayatkan oleh Muslim : ‘Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah’ ; maka dalam hadits tersebut terdapat hal yang sulit dipahami (musykil).
 Karena, apabila air mani laki-laki yang mendahului, maka hal itu berkonsekuensi anak yang terlahir akan menyerupai keluarga suami dan berjenis kelamin laki-laki. Demikian pula jika sebaliknya. Sementara kenyataan yang ada, kadangkala anak laki-laki mirip dengan keluarga dari pihak ibu, bukan dari pihak keluarga ayah. Demikian juga sebaliknya. Al-Qurthubi berkata : “Dengan demikian jelaslah bahwa maksud dari kata al-‘ulluw dalam hadits Tsauban adalah as-sabq (mendahului)”. Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Menurutku, demikianlah makna kata al-‘ulluw yang tercantum dalam hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Tsaubaan, kata al-‘ulluw tetap ditafsirkan sesuai dengan dhahirnya. Dengan demikian, as-sabq (mendahului) merupakan penentu jenis kelamin laki-laki atau wanita, sedangkan al-‘ulluw (mengalahkan/dominansi) merupakan tanda penyerupaan/kemiripan. Berarti tidak ada lagi kesulitan dalam memahami makna hadits. Seakan-akan maksud al-‘ulluw yang merupakan sebab penyerupaan/kemiripan karena banyaknya air mani yang keluar sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini, maka akan tercapailah penyerupaan/kemiripan. Perkara ini ada enam keadaan :

1.        Apabia air mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului air mani wanita, maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya.
2.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu : apabila air mani wanita lebih banyak dan keluar mendahului air mani laki-laki, maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya).
3.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, namun air mani wanita lebih banyak; maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya.
4.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, namun air mani laki-laki lebih banyak; maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya).
5.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah laki-laki tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya.
6.        Sebaliknya (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah wanita tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya).

[selesai – Fathul-Baariy, 7/273].

Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Jumat, 19 Desember 2014

Soeorang Milyarder Bisakah Termasuk Orang yang Zuhud?

Soeorang Milyarder Bisakah Termasuk Orang yang Zuhud?

Merujuk pada pembahasan di atas, bisakah seorang milyarder yang bergelimpangan harta disebut zuhud. Jawabannya, bisa saja.
Ibnu Rajab menerangkan bahwa zuhud juga bisa pada seseorang yang keadaannya ketika hartanya bertambah atau berkurang, keadaannya sama saja.
Apa yang dimaksud di sini dapat dilihat pada perkataan Imam Ahmad berikut. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (2: 11) menyebutkan,
وقال الإمام أحمد الزهد في الدنيا قصر الأمل وعنه رواية أخرى : أنه عدم فرحه بإقبالها ولا حزنه على إدبارها فإنه سئل عن الرجل يكون معه ألف دينار هل يكون زاهدا فقال : نعم على شريطة أن لا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت
“Imam Ahmad berkata mengenai zuhud di dunia adalah sedikit angan-angan. Dalam riwayat lainnya disebutkan, “Ketika mendapatkan sesuatu tidaklah terlalu bergembira. Ketika luput dari sesuatu tidaklah bersedih.”
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar (2,5 Milyar rupiah[1])

. Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja asalkan ia tidaklah terlalu berbangga bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih harta yang berkurang.”
Ibnul Qayyim mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الزهد ترك مالا ينفع في الآخرة والورع : ترك ما تخاف ضرره في الآخرة
“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.” (Madarijus Salikin, 2: 10).
Ibnul Qayyim lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling mencakup.” (Idem).
Jadi kalau dengan harta bisa membawa manfaat untuk akhirat seseorang, membuat ia banyak memberikan manfaat dengan hartanya, semakin mendekatkan dirinya pada Allah, serta menjauhkan ia dari kesia-siaan, walaupun milyarder sekalipun, bisa disebut orang yang zuhud.
Semoga Allah menganugerahkan kita sifat zuhud.

 

Referensi:

Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1432 H.

[1] 20 dinar seperti pada nishab zakat emas adalah sekitar 50 juta rupiah, berarti 1000 dinar adalah senilai 2,5 Milyar rupiah.

Membaca Al Fatihah Setelah Doa

Membaca Al Fatihah Setelah Doa


Adakah tuntunan membaca Al Fatihah setelah doa (berdoa)?
Seperti ini masih jadi ajaran yang terus laris manis di tengah kita, namun kita belum mengetahui dasarnya. Segala sesuatu pokoknya diakhiri Al Fatihah, apa-apa ujungnya Al Fatihah.
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia) pernah diajukan pertanyaan:

Apa hukum membaca Al Fatihah ditujukan pada ruh si fulan, atau membaca Al Fatihah dengan tujuan agar Allah memudahkan suatu urusan? Ada juga yang mengadakan milad lantas setelahnya membaca Al Fatihah, atau setelah membaca Al Quran ditutup lagi dengan membaca Al Fatihah bersama para hadirin. Juga ada kebiasaan di sebagian tempat sebelum nikah pun membaca Al Fatihah lebih dulu. Bagaimana hukum hal ini?
Jawab ulama Lajnah Ad Daimah, “Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan pada Rasul-Nya, keluarga beserta sahabatnya.
Membaca Al Fatihah setelah berdoa, setelah membaca Al Quran, atau sebelum menikah, termasuk amalan yang tidak dianjurkan. Amalan seperti itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 8946, soal kedelapan)
Semoga kita bisa lebih meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal.
Ayyub As Sikhtiyani berkata,
وَمَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَادًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
“Tidaklah seseorang semakin semangat dalam amalan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam, melainkan ia akan semakin jauh dari Allah.” (Al I’tishom, 1: 138).
Hanya Allah yang memberi taufik.

Kamis, 18 Desember 2014

Syair Penggugah Jiwa

SIFAT QANAAH (CUKUP DENGAN RIZKI DARI ALLAH)

 Dan di antara syair yang Al Imam Al Barbahari Rahimahullah ucapkan: Barang siapa yang qanaah (merasa cukup) dengan bekalnya Niscaya dia akan menjadi kaya dan hidup dengan penuh ketentraman Aduhai, betapa indahnya sikap qanaah.

 Betapa banyak orang yang rendah terangkat karenanya Jiwa seorang pemuda akan menjadi sempit apabila merasa butuh Andai saja ia mau mencari kemuliaan dengan Rabb-nya niscaya akan menjadi lapang. [Dari Kitab Irsyaadus Saari ila Taudhihi Syarhis Sunnah lil Imam Al Barbahari, Edisi Indonesia Penjelasan Syarhus Sunnah Imam Al Barbahari Meniti Sunnah di Tengah Badai Fitnah oleh Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi]

Seorang penyair pernah berkata: Sungguh kekayaan itu adalah kaya akan jiwa Meski tanpa berbalut baju tanpa beralas kaki Orang tiada puas meski lebih dari sederhana Namun bila hati menerima, sebagian sajapun mencukupi.

MEMINTA DAN BERDOA HANYA KEPADA ALLAH
 
Sebagian salaf (generasi terdahulu) melihat seseorang yang mengeluhkan kekurangan dan kebutuhannya kepada orang lain. Maka dia (salaf) berkata, “wahai orang ini, Demi Allah, engkau hanyalah mengadukan (Dzat) Yang merahmatimu kepada orang yang tidak merahmatimu.”
Tentang hal ini, dikatakan dalam syair,
وَإِذاَ شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّماَ تَشْكُو الرَّحِيْمَ إِلَى الَّذِي لاَ يَرْحَمُ
Jika engkau mengeluh kepada anak adam, sesungguhnya kau keluhkan Ar Rahiim (Allah Yang Maha Penyayang) kepada yang tidak menyayangi.
[Al Fawa`id karya Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah Rahimahullah, hal. 85, cet. Darul Aqidah]

Perkataan 4 Imam Madzhab di dalam Mengikuti Sunnah

Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah Kiranya sangat bermanfaat untuk disajikan di sini sedikit atau sebagian perkataan mereka, dengan harapan, semoga di dalamnya terdapat pelajaran dan peringatan bagi orang yang mengikuti mereka, bahkan bagi orang yang mengikuti selain mereka yang lebih rendah derajatnya dari taqlid buta, dan bagi orang yang berpegang teguh kepada madzab-madzab dan perkataan-perkataan mereka, sebagaimana kalau madzab-madzab dan perkataan-perkataan itu turun dari langit. Allah Subhanahu Wa Taala, berfirman artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”.
 (QS. Al-Araf :3)

 I. ABU HANIFAH Yang pertama-tama diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit. Para sahabatnya telah meriwayatkan banyak perkataan dan ungkapan darinya, yang semuanya melahirkan satu kesimpulan, yaitu kewajiban untuk berpegang teguh kepada hadits dan meninggalkan pendapat para imam yang bertentangan dengannya. 1. “Apabila hadits itu shahih, maka hidits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/63) 2. “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Intiqau fi Fadha ilits Tsalatsatil Aimmatil FuqahaI, hal. 145) 3. Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Adalah haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan perkataanku”. 4. Di dalam sebuah riwayat ditambahkan: “sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari”. 5. “Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar Rasulullah salallahu alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah perkataanku”. (Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)

 II. MALIK BIN ANAS Imam Malik berkata: 1.

 “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan sunnah, tinggalkanlah”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami, 2/32) 2. “Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Salallhu Alaihi Wasallam”. (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227) 3. Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya tentang menyelang-nyelangi jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, “tidak ada hal itu pada manusia. Dia berkata. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang, kemudian aku berkata kepadanya. Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal itu, maka dia berkata: Apakah itu? Aku berkata: Al-Laits bin Saad dan Ibnu Lahiah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Maafiri dari Abi Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan hadist kepada kami, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam menunjukkan kepadaku dengan kelingkingnya apa yang ada diantara jari-jari kedua kakinya. Maka dia berkata, “sesungguhnya hadist ini adalah Hasan, Aku mendengarnya hanya satu jam. Kemudian aku mendengarnya, setelah itu ditanya, lalu ia memerintahkan untuk menyelang-nyelangi jari-jari. (Mukaddimah Al-Jarhu wat Tadil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33) III. ASY-SYAFII Adapun perkataan-perkataan yang diambil dari Imam Syafii di dalam hal ini lebih banyak dan lebih baik, dan para pengikutnya pun lebih banyak mengamalkannya. Di antaranya: 1. “Tidak ada seorangpun, kecuali dia harus bermadzab dengan Sunnah Rasulullah dan menyendiri dengannya.

 Walaupun aku mengucapkan satu ucapan dan mengasalkan kepada suatu asal di dalamnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang bertentangan dengan ucapanku. Maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah ucapanku.” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3) 2. “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang.” (Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68) 3. “Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka berkatalah dengan sunnah rasulullah Salallahu alaihi Wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, 3/47/1) 4.

 “Apabila Hadist itu Shahih, maka dia adalah madzhabku.” (An-Nawawi di dalam Al-Majmu, Asy-Syarani, 10/57) 5. “kamu (Imam Ahmad) lebih tahu dari padaku tentang hadist dan orang-orangnya (Rijalu l-Hadits). Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari kufah, Bashrah maupun dari Syam, sehingga apabila ia shahih, akan bermadzhab dengannya.” ( Al-Khathib di dalam Al-Ihtijaj bisy-SyafiI, 8/1) 6.

“Setiap masalah yang didalamnya kabar dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah shahih bagi ahli naqli dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku meralatnya di dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Harawi, 47/1) 7. “Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan, sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya shahih, maka ketahuilah, sesungguhnya akalku telah bermadzhab dengannya.” (Al-Mutaqa, 234/1 karya Abu Hafash Al-Muaddab) 8. Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari nabi salallahu alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah karena itu, janganlah kamu mengikutiku.” (Aibnu Asakir, 15/9/2) IV. AHMAD BIN HAMBAL Imam
Ahmad adalah salah seorang imam yang paling banyak mengumpulkan sunnah dan paling berpegang teguh kepadanya. Sehingga ia membenci penulisan buku-buku yang memuat cabang-cabang (furu) dan pendapat Oleh karena itu ia berkata: 1. “Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafii, Auzai dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al- Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-Ilam, 2/302) 2.

“Pendapat AuzaI, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar.” (Ibnul Abdl Barr di dalam Al-Jami, 2/149) 3. “Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi kehancuran.” (Ibnul Jauzi, 182).

 Allah berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa:65), dan firman-Nya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur:63).

 Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Adalah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Sallam dan mengetahuinya untuk menerangkannya kepada umat, menasehati mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti perintahnya. Dan apabila hal itu bertentangan dengan pendapat orang besar diantara umat, maka sesungguhnya perintah Rasulullah salallahu alaihi wa Sallam itu lebih berhak untuk disebarkan dan diikuti dibanding pendapat orang besar manapun yang telah bertentangan dengan perintahnya di dalam sebagian perkara secara salah. Dan dari sini, para sahabat dan orang-orang setelah mereka telah menolak setiap orang yang menentang sunnah yang sahih, dan barangkali mereka telah berlaku keras dalam penolakan ini.

Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia dicintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi, Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam adalah lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah rasul itu bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah rasul adalah lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Hal ini tidak dihalang-halangi oleh pengagungan terhadap orang yang bertentangan dengan perintahnya, walaupun orang itu mendapat ampunan. Orang yang bertentangan itu tidak membenci apabila perintahnya itu diingkari apabila memang ternyata perintah Rasulullah itu bertentangan dengannya. Bagaimana mungkin mereka akan membenci hal itu, sedangkan mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya, dan mereka telah mewajibkan mereka untuk meninggalkan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan sunnah.”

 (Di sadur dari Mukaddimah Kitab Shifatu Shalatiin Nabii shallallahu alaihi wasalam, karya Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah).