Jika suami tidak mampu memberi nafkah
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi
kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu
memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk
nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama [Lihat dalil masing-masing
pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as
Sayid Salim, 3/400-404]:
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah).
Demikian ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi
Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Sa’id bin
Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu
‘Ubaid, dan Abu Tsaur.
2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar.
Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin.
Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata:
“Al Hanafiyah (para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri
berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam
keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para
ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah,
berpendapat, seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama
suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh
(pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas
suaminya selama dia kesusahan”.
[Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288; disalin
almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata:
“Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat
tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya
dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh
(membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim
(pengadilan agama)”.
[Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm.
860; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar