SEPUTAR KITAB BARZANJI
Oleh :ikhwan ta’aruf
Secara umum peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu
disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji
maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada
yang lainnya...,
tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan
satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup
dengan Qasîdah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk
peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sebagian
pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca
al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal
kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus
pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena
populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada
kitab Barzanji. Berikut uraiannya :
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan
riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah,
namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah
bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak
berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah
khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah.
Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah
Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagai seorang
penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi
sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik
kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin
dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.
KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab
Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika
kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan,
dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î
yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba`
atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya,
kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca
Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka
dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan
dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîm
satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, lâm satu huruf mîm satu
huruf".
KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua
orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman
dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia
mengungkapkan dengan sumpah.
Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi
Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari
hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas
Radhiyallahu 'anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah
mati)?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di
Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam
memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di
Neraka”.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah
bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di
Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang
yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab
penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan
penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka
dakwah nabi Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.”
Semua hadits
yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari
neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta
tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan
kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb,
Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi,
at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.
Adapun anggapan bahwa
Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar,
Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal
ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.
Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca
shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu
sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang
hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah
yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama
ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela
perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan
bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah
ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa
Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di
antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun
sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.”Wahai Nabi salam
sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu,Wahai kekasih salam
sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu”.
Para
pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa
tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan
seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati
sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal
itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali
upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus,
maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan
lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan
berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah
putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera
saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk
penghormatan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang
lebih layak dihormati dari pada orang lain?
Ini adalah qiyâs yang
sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara,
sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mulia
dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat.
Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan
beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke
dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang
tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan
bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara
tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi terwujud dengan cara
menaatinya,Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan perintahnya,
menjauhi larangannya, dan mencintainya.
Melakukan amalan bid'ah,
khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan
maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut
termasuk bid'ah yang tercela.
Manusia yang paling besar
pengagungannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi adalah para sahabat
Radhiyallahu 'anhum -semoga Allahwa sallam meridhai mereka- sebagaimana
perkataan Urwah bin Mas'ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi
Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi
utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan
Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang
diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam meludah kemudian
mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka
langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia
memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut
bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya
dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud
pengagungan mereka”.Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah
mengadakansallam acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka.
Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan
meninggalkannya.
Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan
hadîts Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:’Berdirilah kalian untuk tuan
atau orang yang paling baik di antara kalian maka alasan ini tidak
tepat.
Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada
hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut
kedatangan orang yang mempunyai keutamaan. Namun, tidak dilakukan kepada
orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran
dan perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang
Anshar Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin
Muadz Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka
parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi
mengagungkannya secara berlebihan.
Kesalahan Ketiga
Penulis
kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk
meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
Padamu sungguh
aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi
peringatan.Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung
dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi
Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan
syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk
dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga
ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda:
“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani
berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba,
maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.
Telah dimaklumi,
bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi
Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada
Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal
ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya
agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan
berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat
atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada
umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan
beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang
berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka
berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik
di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan
perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan
menggelincirkanmu”.Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas
terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan
nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk
pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa
Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa
bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau
tidak bisa hendaklah ia diam”.Cukuplah dengan hadits tentang larangan
bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan.
Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan
menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang
memberi petunjuk.
Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji
menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat
berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Para pengagum
kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya". [al-Ahzâb:56]
Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil
untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk
perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan
kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bersalawat
atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila
seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan
manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
1). Terkena doa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di
sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.
2). Mendapatkan gelar
bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika
namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”
3). Tidak
mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena
meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan keluarganya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla
bersalawat atasnya sepuluh kali”.
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan
malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu
dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang yang beriman" [Al-Ahzâb:43]
Bahkan, membaca shalawat
menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian
dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra'd:28). Tetapi
dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza
wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat
serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di
akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah
Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun
karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada
malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang
jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:Nur Mustafa
(Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang
sulbi suci nan murni. Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan
sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya
sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil
dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.Demikian juga perkataan
Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga
Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”. Perlu kita diketahui bahwa
ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak
memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum
Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan
menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka
tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum
Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak
Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui
bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah
kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan
keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan
menolong mereka.
Demikian uraian sekilas yang dapat saya sampaikan tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar