Permata Salaf, renungan penuh hikmah dari para pendahulu kita yang salih
Kemarahan Itu Membinasakan
'Umar
bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Telah beruntung orang yang
dijaga dari hawa nafsu,kemarahan, dan ketamakan." Ja'far bin Muhammad
rahimahullah berkata, "Kemarahan itu adalah kunci dari segala
macamkejelekan."Dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah,
"Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak baikdalam satu kata!" Beliau
rahimahullah mengatakan, "Menjauhi marah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam,hal.
372, 379) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Kemarahan itu
membinasakan. Dia mampu merusak akalsebagaimana khamr mmpu menghilangkan
kesadaran." (An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 155)Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 57/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.
Menghindari Banyak Makan
Di
antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut
ilmu,memahaminya, dan tidak jemu adalah memakan sedikit dari sesuatu
yang halal.Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah
kenyang semenjak 16 tahun lalu. Karena, banyak makan akan menyebabkan
banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk
tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya
semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak
makandari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang
membahayakan.”Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:“Sesungguhnya
penyakit, kebanyakan yang engkau lihat terjadi karena makanan atau
minuman.”Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum
kecuali menyebabkan sering ketoilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang
berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya.Barangsiapa yang
menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal
hidupdari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta
tidur, sungguh dia telahmengusahakan sesuatu yang mustahil menurut
kebiasaan.(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal
Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam BadruddinMuhammad bin Ibrahim bin
Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullah, dengan beberapa perubahan)Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 56/V/1431 H/2003, rubrik Permata Salaf.
Menebar Fitnah Menuai Petaka
‘Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:“Janganlah kalian
terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam
menebarkanberbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa
menyimpan rahasia dan gemarmenyebarkannya. Karena sungguh, di belakang
kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat,kesempitan hidup,
kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan,
dimana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya,
yang diikuti oleh fitnahyang besar, berat, dan berkepanjangan.”(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173) Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.
Waktu Dan Tempat Menghafal Ilmu
SESEORANG
hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia
memanfaatkanumurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai
harganya.- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.- Waktu
untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.- Waktu
terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.- Waktu terbaik untuk
menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.Al-Khathib
rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk meng hafal adalah waktu
sahur, setelah itupertengahan siang, kemudian waktu pagi.”Beliau berkata
lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari,
danmenghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam
keadaan kenyang.”Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal
adalah di dalam kamar, dan setiap tempatyang jauh dari hal-hal yang
melalaikan.”Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di
hadapan tetumbuhan, yangmenghijau,atau di sungai, atau di tengah jalan,
di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnyaakan menghalangi
kosongnya hati.”(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim
fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahimbin Abil Fadhl
ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah) Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 54/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.]
Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit
Abul
Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib
Al-Mutanabbimengatakan: "Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai
kekurangan, seperti kurangnyaorang-orang yang mampu mencapai
kesempurnaan."Beliau rahimahullah berkata: "Seyogianya orang yang
berakal berusah menyempurnakan dirinyasampai pada batas maksimal yang ia
mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinyadapat naik ke
atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini
merupakanseburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh
dengan usaha yang sungguhsungguh,niscaya aku memandang orang-orang yang
meninggalkan upaya dalam mendapatkannyaberada pada puncak kerendahan.
Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalahkeluarnya
suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan
amalan."Beliau berkata: "Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu
keutamaan pun yang mungkin untuk diaraih melainkan ia berusaha
mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini,pen.)
adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang
kedua kakinyaberpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada
pada bintang Tsurayya.Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama
dan orang-orang yang zuhud, makalakukanlah. Karena sesungguhnya mereka
adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklahpemalas itu
bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya
cita-citanya.Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran,
sedangkan waktu itu akan berlaludengan cepat. Maka janganlah engkau
kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluputmelainkan
karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang
dicapainya melainkankarena kesungguhan dan tekadnya yang bulat." (Awa'iquth Thalab hal. 51-52)Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.53/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.
'Umar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani 'Abbas: "Dengan apakalian memerangi manusia?" Mereka menjawab: "Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.)melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami."Sebagian salaf berkata: "Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya lukaluka,akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran."Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:"Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir.Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa danhawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:"Seorang mujahid adlah yang memerangi jiwanya karena Allah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516)Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): "Yakni memaksajiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandungkeridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhikemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macamjihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri,tidaklah mungkin baginya utk dpt berjihad memerangi musuh yg di luar jiwanya (musuh yg dhahir)" Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.52/V/1430 H/2009, rubrik Permata SalafJihad Dan Kesabaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar