Rabu, 20 November 2013

Permata Salaf, renungan penuh hikmah dari para pendahulu kita yang salih





Kemarahan Itu Membinasakan
'Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu,kemarahan, dan ketamakan." Ja'far bin Muhammad rahimahullah berkata, "Kemarahan itu adalah kunci dari segala macamkejelekan."Dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah, "Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak baikdalam satu kata!" Beliau rahimahullah mengatakan, "Menjauhi marah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam,hal. 372, 379) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Kemarahan itu membinasakan. Dia mampu merusak akalsebagaimana khamr mmpu menghilangkan kesadaran." (An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 155)Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 57/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Menghindari Banyak Makan
Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu,memahaminya, dan tidak jemu adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu.  Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makandari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:“Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat terjadi karena makanan atau minuman.”Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ketoilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya.Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidupdari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telahmengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam BadruddinMuhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullah, dengan beberapa perubahan)Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 56/V/1431 H/2003, rubrik Permata Salaf.

Menebar Fitnah Menuai Petaka
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:“Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkanberbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemarmenyebarkannya. Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat,kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, dimana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnahyang besar, berat, dan berkepanjangan.”(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173) Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Waktu Dan Tempat Menghafal Ilmu
SESEORANG hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkanumurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.- Waktu untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.- Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.- Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.Al-Khathib rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk meng hafal adalah waktu sahur, setelah itupertengahan siang, kemudian waktu pagi.”Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, danmenghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempatyang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yangmenghijau,atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnyaakan menghalangi kosongnya hati.”(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahimbin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah) Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 54/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.]

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit
Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbimengatakan: "Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnyaorang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan."Beliau rahimahullah berkata: "Seyogianya orang yang berakal berusah menyempurnakan dirinyasampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinyadapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini merupakanseburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguhsungguh,niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannyaberada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalahkeluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan."Beliau berkata: "Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk diaraih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini,pen.) adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinyaberpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, makalakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklahpemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya.Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlaludengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluputmelainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkankarena kesungguhan dan tekadnya yang bulat." (Awa'iquth Thalab hal. 51-52)Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.53/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Jihad Dan Kesabaran
'Umar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani 'Abbas: "Dengan apakalian memerangi manusia?"  Mereka menjawab: "Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.)melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami."Sebagian salaf berkata: "Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya lukaluka,akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran."Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:"Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir.Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa danhawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:"Seorang mujahid adlah yang memerangi jiwanya karena Allah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516)Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): "Yakni memaksajiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandungkeridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhikemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macamjihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri,tidaklah mungkin baginya utk dpt berjihad memerangi musuh yg di luar jiwanya (musuh yg dhahir)" Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.52/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar